“Lizzi… help… help me… Lizzi…”
“Are you okay?” Mom menatap
Lizzi lekat-lekat. Sejak Mom membantu dia mengenakan baju, pandangan mata gadis
itu kosong. Kadang, secara tiba-tiba dia tersentak, seakan mendengar sesuatu.
Lizzi
menatap mata
perempuan di hadapan dia sambil mencoba memberi sinyal. “Did you
hear that, Mom?”
Dahi
Mom mengerut. Baru kali ini dia mendapati si sulung
bertingkah paranoid. “What?”
“There’s someone need a help.” Jawab
gadis manis itu sambil melayangkan pandangan ke langit-langit
kamar.
“I don’t understand. Help… what help?”
Lizzi
kembali menatap mata Mom yang menelisik. Bodoh, Mom mana mungkin percaya
padanya. “Umm… no. Nothing.”
Pandangan
Mom berubah sinis. Sambil membantu Lizzi mengenakan sepatu merah mengkilat, Mom
berkomentar, “Hentikan imajinasimu yang tidak bisa orang lain mengerti, Elisa!
Atau kau akan melihat Mom masuk ke kelas barumu dan menyeretmu pulang.
Mengerti?” Lizzi mengangguk. Matanya kembali menyiratkan ketakutan seperti
biasa. “Ingat Sayangku, kau putri bangsawan. Jangan pernah berbuat hal-hal
konyol yang bisa membuat Mom dan Dad malu. Jangan menguap, jangan membungkuk,
jangan bersiul, jangan berlarian, jangan bersendawa,”
“No lazzy, no rush, no late, no crazy
think, and no lie.” Lizzi mengangkat alis sambil tersenyum manis.
“Ya,
satu lagi. Jangan menyela.”
Senyuman
Lizzi pupus seketika, mendengar sindiran mom. “I’m so sorry.”
“It’s okay.” Mom menghela napas sambil
kembali berdiri. “Kemari, Dad sudah menunggu di ruang makan.”
Grandma
tidak menceritakan kejadian tadi pagi.
Itu yang setidaknya terlihat oleh Lizzi. Mereka berdua sibuk dengan pekerjaan
mereka masing-masing. Grandma dengan
kebiasaanya merajut, dan Dad yang sibuk dengan buku jurnalnya. Keduanya
menoleh, sebelum Mom dan Lizzi mencapai bangku mereka. “Hmm… My beloved princess Lizzi. Good morning,
honey. How was your first night in
our new home?” Dad mengecup pipi Lizzi saat gadis itu memeluk dia erat.
“Morning Dad. That was great.”
“Really? Good. I’m happy to hear that. I hope you’ll enjoy to be here.”
Lizzi
tersenyum. Menghiraukan pandangan Grandma
yang mencemaskan dia. “Me too.”
“Jangan
panggil dia dengan panggilan aneh itu di depan teman-teman barunya. Aku tetap
ingin dia memiliki nama asli.” Mom yang duduk di seberang Lizzi menimpali tanpa
memandang Dad sedikit pun.
Dia sibuk membuatkan roti lapis keju untuk mereka berempat. Sementara Grandma
memilih untuk pura-pura tidak mendengar.
Dad hanya tersenyum masam. Bukan Dad tidak berani melawan
Mom. Hanya saja Dad memiliki sifat Grandma yang begitu sabar dan tulus. Dia
sering tidak menggubris sikap keras Mom. Dia sudah menyadari semua konsekuansi
yang harus dia jalani bila memilih Mom untuk menjadi istri dia. Jauh sebelum Dad meminta Mom, dia sudah berjanji
menerima semua kekurangan dan kelebihan wanita perfeksionis itu. Dan Grandma,
dia cukup bijak untuk menerima semua keputusan Dad.
Diam-diam, Lizzi pernah mengumpat. Kehidupan kadang
terasa tidak adil. Kenapa pria sebaik Dad harus berdampingan dengan wanita
sekeras Mom. Tidakkah itu terlalu menghimpit Dad?
Kenapa pula Lizzi tidak memiliki sifat Mom yang sarkastis? Mom tidak
terbantahkan. Lizzi hanya tahu kata mengalah. Itu sebabnya Lizzi lebih memilih
untuk tidak memikirkan apa pun.
Akan menjadi pertanyaan tak berujung bila dia melanjutkan semua pikiran itu.
Bagaimanapun, Lizzi lahir dari rahim Mom. Lizzi harus menyayanginya.
Lizzi menahan napas. Matanya melotot melihat Ginni di
samping pintu basement. Apa lagi yan dilakukan gadis itu? Lizzi bergeming. Dia tetap memandang tingkah Ginni dari kursi dengan pandangan sinis.
Sementara Ginni tetap melambaikan tangan, meminta Lizzi untuk ikut dengannya.
Lizzi tidak tahan lagi. Bocah itu terlalu ribut! “Stop! Shut up!” teriak Lizzi sambil berdiri dari kursi. Membuat celemek
dan pisau roti jatuh berdenting di lantai.
Tiga pasang mata yang lain sontak memandang Lizzi.
Ketiganya menunjukkan ekspresi terkejut yang sama. “Lizzi?” Dad mengawali
pertanyaan.
“What? Are you talking to me?” Mom menimpali.
Lizzi memandang ketiga pasang mata itu bergantian dengan
penuh rasa menyesal. Ketakutan mulai merambati dia.
“No.” jawabnya sambil menggeleng.
“Honey what’s wrong
with you?” Grandma mengambil tindakan tangkas. Dia berdiri dari kursi,
menghampiri dan memeluk Lizzi penuh rasa iba. Dia tahu, sejak dia menemukan
Lizzi di loteng, ada yang tidak beres dengan cucu kesayangannya ini. “Are you okay?”
“I want to go to
school, right now, Grandma.”
Masih dalam pandangan tak mengerti, James berdiri dan
merangkul putrinya. “Baiklah, kita berangkat sekarang. Kau keluarlah lebih
dulu. Tunggu Dad di mobil.” Lizzi mengangguk. Grandma mengantar dia keluar. “See?” Dad memandang Mom sambil
mengacungkan sebelah tangannya ke arah Lizzi. Dari tatapan Dad, Mom tahu Dad tengah menyalahkan dia.
“Oh, so this is my
fault?” Mom menjatuhkan pisau dan roti yang tengah dia pegang ke atas
meja, sebelum akhirnya berdiri.
“Of course yes!”
jawab Dad tegas. “Kau tahu kan berapa usia Lizzi? Dia masih sangat kecil untuk
semua tuntutan yang kauajukan kepada dia. Anakku bukan
sebuah boneka! She grows up,
she breathes, she has a brain, she can do
more than what you think!” wajah Dad semakin murka. “Oh, atau jangan-jangan kau malah lupa kapan tanggal ulang tahun
anakmu?”
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu karena bahkan kau
tak pernah memanggilnya dengan nama aslinya, Elisa!” tanpa menunggu jawaban
Dad, Mom melengos berjalan meninggalkan Dad sendiri di ruang makan. Sementara Dad hanya menghela napas sambil mengusap
wajah dengan gusar. Dia yakin sekali, Lizzi dalam keadaan tertekan.
Dad belum sempat mencari pengasuh atau orang yang bisa
membantu Mom dan Grandma untuk membersihkan dan merawat rumah. Rumah ini cukup
menguras tenaga kalau harus diurus oleh dua perempuan saja. Lagi pula, keluarga
Lizzi adalah keluarga bangsawan. Mereka harus secepatnya mencari pengurus rumah
sebelum kegiatan mereka nanti menyita waktu mereka. Terutama untuk Lizzi. Dia
tidak boleh sampai terbengkalai.
Sambil
menenteng koper dan sebelah tangan membetulkan kerah baju, Dad tersenyum
menatap Lizzi yang sudah duduk di bangku belakang mobil bersama Grandma. Dad
meraup sebelah pipi Lizzi dengan satu tangan, kemudian mengecup kening gadis
itu. “Dad sayang padamu, Lizzi.” Begitu bisiknya menahan hisak. “Kau putri Dad
yang hebat. Dad bangga padamu.”
Lizzi menatap Dad tidak yakin. “Are you sure?”
“Yes.” Jawab Dad sambil tersenyum bersemangat.
“Sekarang, pindah ke depan. Kita berangkat.” Dad mundur satu langkah memberikan
jalan keluar untuk Lizzi dan Grandma.
“Mom, aku berangkat dulu. Baik-baik di rumah.”
“Yah…” jawab Grandma lemas namun tetap terseyum.
Lizzi yang sudah duduk di bangku depan mendongak keluar
jendela. Memandang Grandma dengan tatapan penuh iba. “Grandma…” panggilnya dengan suara lembut yang menggetarkan jiwa.
“Kau akan menjemputku ke sekolah, benarkan?”
Grandma menghampiri Lizzi. Mendekap kedua pipi gadis itu
dengan kedua tangannya. “Of course honey,
you have my word.”
Lizzi seketika tersenyum, sementara pintu tempat duduk
kemudi dibuka dan Dad masuk ke dalam. “I
love you, Grandma.”
“I love you Lizzi.”
Setelah Grandma mundur beberapa langkah dan mereka saling
melambaikan tangan, mobil berjalan pelan meninggalkan halaman rumah yang luas.
Senyuman Lizzi memudar, ketika dia melihat Mom berdiri
mengawasi dari balik jendela kamar. Dan, Ginni berdiri tepat di samping Mom.
Sebelah kanan tangan gadis itu menggenggam baju Mom dan tangan yang lain
melambai kepada Lizzi, sambil menunjukkan senyuman yang tidak Lizzi suka.
Ginni!!
BERSAMBUNG ....
No comments:
Post a Comment