Thursday, May 18, 2017

That Doll (Cerbung Part #2)


    “Hmm… smells good, doesn’t it? Can I have some, Grandma?
    Granny tersenyum. Kedua tangannya tangkas memotong pie buah dengan pisau besar yang tajam. 
   “Yes, of course honey.” Lizzi bersemangat. Beberapa saat dia menoleh mencari piring dan garpu. “What are you looking for? Just eat this.” Ujar Granny sambil menunjukkan sepotong pie yang ada di nampan besar. Pie yang sudah dipotong menjadi beberapa bagian dan siap masuk ke dalam mulut.
   “Mom bilang, perempuan harus makan dengan cara yang baik.”

    "Apakah menurutmu makan tanpa piring tidak baik?”
    "I don't thing so, Mom.”
    “Than just eat this.”
   Lizzi merasa jauh lebih bersemangat. Betapa asyik bisa melakukan semua yang dia inginkan tanpa harus merasa takut. Kalau hanya sekadar makan pie dalam potongan kecil, Lizzi jauh lebih memilih langsung mencomot dari nampan. Dengan satu catatan Mom tidak melihat. “Oh God, this is great, it’s delicious.”
    "Really?"
    “Absolutely, pie is my favorite food ever. And your pie is number one in this world, Grandma.”
Granny terkekeh. Dia kenal betul cucunya, dan Lizzi tidak hanya sebatas ingin membuat dia mengembangkan senyuman. “Thank you sweetheart. Have some more.”
     “Of course.” Jawab Lizzi yang tertular senyuman manis Granny.
Wanita tua itu meletakkan pisau dan mengusapkan tangan pada celemek. Sambil berlutut dia membelai rambut Lizzi lembut. “Look, Lizzi. Nobody stays the same, right? People change. But, I want you to still be yourself.” Lizzi memandang Nan tidak berkedip. Mulutnya masih sibuk mengunyah pie. “Apapun yang Mom lakukan, apapun yang dia coba untuk membentukmu menjadi gadis bangsawan yang manis. Kau tetap harus mendapatkan apa yang ingin kau dapatkan. Kebahagiaan. Jangan pernah batasi dirimu untuk melakukan sesuatu yang besar untuk dunia ini.”
     Lizzi tersenyum manis. Gadis itu mengusapkan tangannya pada gaun biru muda yang cantik sebelum dipeluknya Granny dengan tulus. “I love you, Grandma.”
    “Oh, I love you too, baby. As much as you love me.”
   Dalam hitungan detik, dapur diselimuti rasa haru yang manis. Jauh lebih manis dari pie yang tertata cantik di atas meja. “Oh, kau punya tugas hari ini.” Grandma memecah keheningan. Dia kembali berdiri sambil berkata, “Pie ini harus segera diantar. Kau mau melakukannya untukku?” Lizzi mengangguk. “Ke mana aku harus mengantarnya?”
    Granny memberikan sepiring pie kepada Lizzi. Kemudian menuntun gadis itu keluar dapur dan menghadapkan dia ke jendela besar di sisi ruang tengah. “Kau lihat rumah itu? Di situ kau harus mengantarkan.”
     “Rumah itu milik Grandpa bertongkat kan?”
 Granny mengangguk. “Rupanya kau sudah bertemu dengannya.”
     “No, I saw him last evening.” Jawab Lizzi santai. “Kenapa Grandma membuatkannya pie?”
     “Kita orang baru di sini, Lizzi. Sudah seharusnya kita bersikap ramah.”
    Senyuman sontak terlukis di bibir gadis itu, membentuk cekung pada pipi yang memberikan kesan manis. “Grandma hanya memberikan satu pie?”
     “Setahuku dia tinggal seorang diri di rumah itu.”
Sejenak Lizzi mengangkat alis. Namun langsung menggantikan ekspresi itu dengan senyuman dan dia membawa pie itu kepada Kakek si pemilik rumah kecil.
     Lizzi salah menduga. Rumah Grandpa tidak sekecil yang dia bayangkan. Rumah ini terlihat asyik. Dia penyuka bunga dan tak pernah membiarkan rumput di halaman tumbuh tak beraturan. Lizzi mendapati dirinya menahan senyum. Membayangkan kalau dia bisa sekadar bermain bersama lelaki tua itu di halaman rumah yang indah mungkin sesuatu yang tidak konyol bagi gadis berusia sepuluh tahun. 
Gadis itu mengetuk pintu dengan gerakan beraturan. Mom sudah mengajarkan dengan baik. Dia harus mengagumkan di depan orang yang baru dia temui. Walau sebenarnya dia sedikit takut dikira nakal karena dia yakin Grandpa melihat ulahnya kemarin sore di ruang bundar. Tapi paling tidak, dia harus tetap bersikap semanis mungkin. Lizzi tetap harus menjadi gadis baik ciptaan Momnya.
Good Morning, Grandpa. I’m your new neighbor. My name is Elisabet. I come with my family last evening.” Lizzi berusaha ramah.
I know!” 
“Oh yeah, you must be knowing that. I saw you that time.” Lizzi sedikit kikuk. Pasalnya Grandpa hanya terus memperhatikan dia tanpa berniat menunjukkan sikap ramah. “Emm, aku membawakan pie buah untukmu. Grandma yang membuatnya. I hope you like it.”
“Thank you.”
  Meskipun pie itu dia terima, tapi Grandpa sama sekali belum tersenyum kepada Lizzi. Membuat gadis itu mengurungkan niat untuk berusaha membuat Grandpa mengenal dia dengan baik. Tanpa dikomando, mata gadis itu menatap ruang tamu yang terlihat tua dengan sofa woll coklat dan meja bundar berukuran sedang. Lizzi sejenak tersenyum melihat foto Grandpa yang terpajang di dinding. Dia memiliki tiga orang cucu yang cantik. Cucu? Lizzi melupakan sesuatu. Rambut Grandpa tidak putih di foto itu.
“What are you looking for? Just go!”
Lizzi terlonjat kaget. Ada kengerian yang mendadak menjalar ke seluruh tubuh ketika mata Grandpa melotot. Seakan menusuk mata teduhnya begitu dalam. Mengingatkan dia pada mata Mom yang dingin.
Oh, I’m so sorry. I just… I… I get to go. Good bye.” Ujar Lizzi terbata sambil berlari meninggalkan rumah Grandpa.
Syukurlah, Lizzi bisa dengan cepat sampai di depan rumah dia sendiri. Sambil membuka pintu, gadis itu kembali menoleh ke rumah Grandpa yang sepertinya sudah lebih dulu masuk ke dalam. Lizzi sedikit terengah. Kalau Mom tahu dia telah melakukan tidakan tidak baik dengan mengamati rumah orang lain tanpa dipersilakan, bahkan sampai membuat tuan rumah marah, Mom pasti akan menggantung dia.
    Lizzi cepat-cepat masuk dan menutup pintu. Mengatur napas sesaat sebelum berniat kembali ke dapur menemui Granny. Tapi bahkan sebelum dia menyelesaikan langkah kaki pertama, suara Mom sudah menggema dan membuat dia sedikit terlonjat. 
    “Dari mana saja kau, Elisa? Mom mencarimu ke mana-mana. Berdiri yang tegap! Jangan membungkuk!” Lizzi gugup sesaat namun entah bagaimana dia merasa jauh lebih aman meski dia tahu Mom tidak bisa membuatnya nyaman. “Kau berkeringat dan bajumu lusuh sekali. Sudah berulangkali Mom katakan. Jaga penampilanmu, sayang. Kita pendatang baru di sini. Meskipun Mom orang asli Inggris, tapi itu tidak akan menjadi jaminan kita bisa dipandang sebagai keluarga baik-baik kalau kita tidak menjaga sikap. Inggris dan Canada tidak sama, Elisa.”
       Kali ini Lizzi membenarkan ucapan Mom. Orang Inggris pertama selain Mom yang sudah dia temui adalah Grandpa. Dan Grandpa sama mengerikannya dengan Mom. Apakah semua orang Inggris seperti Mom? Dad bilang mereka ramah, tapi kenapa yang harus bertemu dengan Lizzi orang-orang yang memiliki karakter dingin. Sejenak Lizzi menyesali kejadian barusan. Bisa saja Grandpa sebenarnya orang yang ramah. Tapi Lizzi merusak kesan pertama mereka.
      Mom heran ketika Lizzi tiba-tiba memeluk dia. Lizzi sendiri bahkan tidak sempat mempertimbangkan kespontanannya. “Mom benar. Aku tidak ingin terlihat amatiran di depan teman-teman baruku. Mom jauh lebih mengerti.”
      Hati Mom melunak. Dia mengusap rambut anak semata wayangnya sambil tersenyum manis. “Mom hanya ingin keluarga kita diterima, sayang.” Lizzi melepaskan pelukannya. Betapa dia merasa beruntung masih bisa melihat senyuman Mom. “Okay, sekarang kau harus mengganti bajumu. Mom belum sempat merapikan milikmu, kau bisakan ambil sendiri di loteng? Kau sudah tahu di mana tangganya. Ambil satu yang paling bagus. Mom tunggu di bawah. Jangan sentuh barang-barang lain yang ada di sana! Mengerti?”
Lizzi tahu persis di mana letak tangga menuju loteng. Kemarin dia sudah mencoba menginjak tiap anak tangganya dengan gerakan lincah. Sambil menyimpan sisa senyuman, Lizzi membuka pintu loteng, mengedarkan pandangan ke seisi ruangan, dan menemukan kotak pakaiannya tergeletak di tengah ruang dalam keadaan tertutup. Mungkin itu satu di antara beberapa kotak yang belum tertutup debu.
Gadis itu menghela napas sambil mendekat. Tidak sulit kalau hanya untuk mengambil baju dari dalam kotak. Yang susah adalah, membawa kotak itu agar sampai ke kamar. Itu tugas Dad setelah dia pulang kerja nanti. Kotak itu terlihat hangat, tertimpa matahari pagi yang menembus dari celah genting loteng. Menampakkan partikel-partikel dan debu yang berterbangan di sekeliling kotak. Begitu Lizzi mendekat, matanya tidak fokus lagi kepada kotak kayu itu. Ada hal lain yang lebih menarik hatinya. Tanpa Lizzi sadari, dia tersenyum.
Tapi Mom bilang aku tidak boleh menyentuh barang-barang lain. Begitu ujarnya dalam hati, namun sambil mendekat ke arah kardus besar berisi barang-barang yang lusuh tak pernah tersentuh. Debu tebal menyelimuti mereka seperti salju yang kotor. Mata itu terpancar begitu kuat. Seakan meminta Lizzi untuk mengambil dan menyimpannya. Mata itu, indah. Mata yang tidak dimiliki siapapun di rumah ini. Caramel. Benar-benar seperti caramel.
“Take me with you.” 
Lizzi membuka mulut. Mungkinkah dia berbicara? Boneka itu? Ah, tidak. Lizzi hanya ingin mengambil boneka itu dan menyimpannya. Batinnya yang berteriak. Sontak gadis cantik itu menggeleng dan berbalik. “Take me, Lizzi. I’ll be your good friend. I promise.” 
Sekali lagi, boneka itu seakan berbicara. Lizzi kembali menoleh dan memandang kedua bola mata coklat boneka itu sambil menunjukkan wajah memelas. Betapa sangat menyenangkan kalau dia boleh memilikinya. “Can I just take you with me? And we’ll be together as a friend? I don’t have a friend. I feel so lonely. Really.” Ujarnya lebih kepada dirinya sendiri. Dia mengangkat boneka cantik berambut panjang keriting yang dikuncir dua. Sekali lagi, mata boneka itu indah, seakan ada kehidupan di sana.
“What’s your name? Don’t you have a name?” Lizi membersihkan boneka itu dari debu sambil bergumam. Dia harus memilikinya. Boneka itu terlalu cantik untuk ditinggalkan. “Oke, we will be together right now. Okay?” ujarnya lagi sambil membawa boneka itu.
Sebelum dia keluar dari loteng, matanya sontak menyapu ke seluruh ruangan. Memastikkan kalau Mom tidak ada di sana. Aman! Secepat kilat Lizzi membawa boneka itu ke kamar. Menuruni undakan dengan halus namun langkah kaki terburu-buru, melewati ruang tengah dan masuk ke koridor yang menghubungkan ruangan itu dengan deretan kamar miliknya, Mom, Dad, dan Grandma. Dengan satu gerakan gesit, Lizzi membuka pintu kamar dan masuk ke dalamnya, sambil menutup kembali pintu dengan hentakan keras. “Oh My God! Finally!”
Dia memandang sekilas boneka itu, mengisyaratkan akan ketakutan yang memuncak, tapi diselingi kepuasan yang mendera batin terlalu kuat. Lizzi masih mengatur napas sejenak, kemudian dengan perlahan bibirnya membentuk senyuman nakal. Sebelum dia sendiri menyadari, dia sudah tertawa terpingkal-pingkal. Menertawai kekonyolan yang baru saja terjadi dalam hidup dia. Menertawai kemenangan ataupun rasa bersalah, pun kepuasan yang seakan tak ternilai harganya. Boneka ini seperti menjadi segalanya, sekarang.
“Elisa??”
Lizzi terkesiap. Matanya membelalak sesaat, menyapu seluruh ruangan dengan gerakan gesit. Begitu matanya terpaku pada sepasang bantal di ranjangnya, Lizi berlari secepat yang dia bisa. Mengangkat bantal itu, untuk kemudian menyembunyikan boneka kumal yang baru dia temukan di bawahnya. Setelah merasa aman, Lizzi berlari menghampiri lemari. Menarik keluar sisa baju dari koper kecil yang bisa langsung dimasukkan dalam kamar, sampai Mom membuka pintu dan memandang penuh tanya.
“Kurasa aku ingin mengenakan yang ini.”

Bersambung....


No comments:

Post a Comment