Wednesday, May 17, 2017

That Doll (Cerbung Part 1)



Cerita saduran ini berawal dari obrolan panjang tengah malam dan bersambung ke malam selanjutnya dan malam-malam yang akhirnya membuat saya dan Mbak Nova Amalia setuju untuk menuliskan segala macam imajinasi kami yang "liar" (kami berdua suka melamun dan menghayal sebuah cerita tetang anak kecil yang aktif dan kehidupan mereka yang menarik) Terima kasih, setiap kerja sama yang saya lakukan dengan dia, Kakak sekaligus teman curhatku, selalu membuahkan hasil entah apa saja macamnya, termasuk cerita ini. Bagiku, segala macam imajinasinya luar biasa. ^^
Semoga bisa diterima yaa...

Selamat membaca ^^
Love _ Amy & Nova

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

That Doll - Part 1



            Setelah melewati hutan pinus yang terasa begitu panjang, akhirnya mobil mereka melaju di jalan yang menampakkan beberapa ladang dan rumah penduduk, yang beberapa di antaranya mengeluarkan asap putih membumbung pada cerobong di atap mereka. Beberapa rumah terlihat memiliki hewan peliharaan seperti, kuda, sapi, atau bahkan anjing yang hanya tidur bermalas-malasan di pelataran. Untung Dad bisa mengemudi dengan kecepatan yang bisa diandalkan. Setengah jam lebih, yang bisa mereka lihat hanya pinus. Hampir saja Lizi mati kebosanan di dalam mobil yang suara mesinnya menderu keras karena harus membawa beban terlalu banyak.
            Perang dunia kedua tidak menyisakan bentuk kekejaman apapun. Semua terlihat baik-baik saja. Perempuan-perempuan Inggris tetap bisa melahirkan anaknya. Dan para lelaki bisa pergi ke ladang atau hanya duduk-duduk menemani anjing dan kuda mereka. Keputusan Dad untuk meninggalkan Canada dan menetap di London menjadi keputusan paling baik di sepanjang kehidupan mereka yang monoton. Mom yang selalu menganggap dirinya sebagai wanita bangsawan dengan semua peraturan yang dibuatnya, Dad yang jarang pulang ke rumah setelah proses pengangkatan sebagai kepala dokter di rumah sakit terbesar di Amerika, dan Granny yang lebih suka merajut. Semua itu jauh lebih membosankan dari pada pohon pinus. Lizzi kerap mengucap syukur dan tak sabar menanti perjalanan ini, setiap harinya.
            “Tegapkan punggungmu, Elisabet! Mom tidak mau kalau kau sampai menjadi bungkuk.”
     Elisabet! Lizzi hampir tidak pernah mendengar nama itu lagi kecuali dari mulut Mom. Wanita yang memiliki tatapan tajam itu enggan memanggil si anak dengan nama sapaan yang menurut dia tidak masuk akal, walau sang suami menyukai nama itu, Lizzi.
“Truk kita berderu-deru. Hampir mati aku mendengarnya.”
Mom menoleh menatap Lizzi dengan tatapan mematikan. “Itu bukan jawaban yang tepat untuk perintah Mom, Elisa!”
“Biarkan dia bersandar, Issabel.” Dad menimpali santai. Meski tidak membuat Mom menarik kembali perintahnya. “Perjalanan kita jauh. Wajar kalau dia kelelahan.”
“Aku hanya ingin mengajarkan dia menjadi wanita yang baik, James!” Mom sinis.
James melirik sekilas putrinya dari kaca mobil. “Menurutku dia sudah cukup baik.”
“Kau terlalu memanjakan dia.” Mom mulai meradang, dan Dad berhenti menimpali. Menurut Lizzi, itu yang membuat hubungan mereka tetap baik-baik saja.
Lizzi’s right. Truk kita sepertinya terus berderu, kau tidak ingin melihatnya sebentar, anakku?” ucap Nan sambil menatap truk dari jendela belakang mobil. Lizzi ikut mendongak. Menatap truk itu yang sedikit berguncang guncang, membuat barang-barang mereka bergeser-geser. “Aku takut kita menjatuhkan sesuatu.”
Dad kembali menatap lewat kaca mobil sebelum akhirnya menepikan mobil dan berhenti sebentar untuk memastikan barang pindahan dalam keadaan baik-baik saja.
It’s all right. Beberapa jengkal lagi kita sampai di rumah. Barang-barangnya aman. Begitu juga dengan truknya.” Jawab Dad sambil duduk kembali di kursi kemudi dan memakai sabuk pengamannya.
Lizzi tersenyum menatap Granny yang terlihat lega. “Sebentar lagi kita sampai, Granma.”
Yes, finally.” Jawab Nan sambil mengusap kepala Lizzi. Dia satu-satunya perempuan tua yang paling menyenangkan bagi Lizzi.
“Kau kembali membungkuk, Elisa!” ujar Mom setelah mobil kembali melaju.
Lizzi menatap Mom ketakutan dan lekas membetulkan posisi duduk.
“Aku rasa rumah putih di depan itu rumah kita.”
Lizzy antusias. “Mana, Dad?”
Mom melotot melihat Lizzi mengangkat kakinya ke kursi agar dia bisa melihat rumah barunya. “Itu, yang paling tinggi.”
Lizzi menghiraukan tatapan Mom. Dalam posisi berlutut dan kedua kaki naik ke kursi, Lizzi menempelkan kedua tangan mungilnya pada jendela.  Menikmati pemandangan di sekitar rumah barunya sambil tersenyum bahagia. “Wah, rumah baru kita indah.”
Selagi Dad menurunkan barang-barang mereka dari truk, Mom dan Granny berkeliling melihat-lihat pekarangan yang indah ditumbuhi bunga-bunga. Lizzi sendiri lebih memilih untuk menghindari ketiganya, meskipun sepertinya asik kalau dia bisa memiliki Nan terlebih dahulu. Mengajaknya berkeliling sambil bercerita panjang lebar, apa saja yang akan mereka lakukan selama mereka bisa menetap di desa. Lizzi antusias. Setelah sebelumnya dia tinggal selama sepuluh tahun di kota, akhirnya dia mendapatkan suasana baru di London. Satu yang paling membuatnya bersemangat, dia memiliki rumah luas yang pada bagian halaman terdapat pohon yang tumbuh lebat. Dad sudah janji dia akan memberikan kamar yang luas untuk Lizzi. It’s gonna be fun, isn’t it?
“Wow!” begitu ujar gadis mungil yang memiliki rambut dark-brown yang sangat indah itu, ketika dia masuk ke dalam rumah. Setelah berjingkat kegirangan, dia berlarian mengitari ruang tengah yang masih lengang tanpa perabotan, kemudia masuk menembus koridor hangat yang tertimpa sinar matahari dari jendela kaca besar di sisi kiri, masuk lebih dalam ke ruangan bundar yang sama lengangnya dengan ruang tengah, dengan tangga menjulang di sisi ruangan.
Lizzi berdiri tepat di tengah ruangan bundar itu. mengatur nafasnya sejenak sebelum kemudian dia berputar-putar, membuat gaun selutut yang dia kenakan mengembang mengikuti gerak tubuh dia. Setelah berjingkat beberapa kali, Lizzi berlari menuju tangga. Menderapkan langkah kakinya pada tiap anak tangga, kemudian turun kembali dan mendarat dengan satu lompatan keras.
“Elisa!!”
Lizzi membeku ketika matanya bertemu pandang dengan mata Mom yang berkilat tertimpa cahaya. Tak ada keteduhan yang bisa Lizzi dapatkan dari mata biru terang itu. Mata itu terlalu dingin. Berbeda dengan mata Dad, Granny, dan matanya yang teduh seperti rerumputan basah. Setelah Mom yakin Lizzi ketakutan dan tidak akan mengulangi tingkahnya, dia pergi meninggalkan ruangan. Membuat Lizzi terduduk lemas di anak tangga paling bawah. Sekali lagi, tindakannya salah.
Lizzi hampir tersenyum, ketika dilihatnya lelaki tua dengan tongkat menatapnya dari rumah sebelah. Lizzi bisa melihatnya dari jendela besar yang ada di ruang bundar ini. Tetapi hanya beberapa detik setelah Lizzi berdiri, lelaki tua itu menoleh dan berjalan masuk ke dalam rumahnya yang kecil. “I hope you are as nice as my Grandma.” Ujar gadis itu lirih.

No comments:

Post a Comment