Cerita saduran ini berawal dari obrolan panjang tengah malam dan bersambung ke malam selanjutnya dan malam-malam yang akhirnya membuat saya dan Mbak Nova Amalia setuju untuk menuliskan segala macam imajinasi kami yang "liar" (kami berdua suka melamun dan menghayal sebuah cerita tetang anak kecil yang aktif dan kehidupan mereka yang menarik) Terima kasih, setiap kerja sama yang saya lakukan dengan dia, Kakak sekaligus teman curhatku, selalu membuahkan hasil entah apa saja macamnya, termasuk cerita ini. Bagiku, segala macam imajinasinya luar biasa. ^^
Semoga bisa diterima yaa...
Selamat membaca ^^
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
That
Doll - Part 1
Setelah melewati hutan pinus yang terasa begitu
panjang, akhirnya mobil mereka melaju di jalan yang menampakkan beberapa ladang
dan rumah penduduk, yang beberapa di antaranya
mengeluarkan asap putih membumbung pada cerobong di atap mereka. Beberapa rumah
terlihat memiliki hewan peliharaan seperti, kuda, sapi, atau bahkan anjing yang
hanya tidur bermalas-malasan di pelataran. Untung Dad bisa mengemudi dengan
kecepatan yang bisa diandalkan. Setengah jam lebih, yang bisa mereka lihat
hanya pinus. Hampir saja Lizi mati kebosanan di dalam mobil yang suara mesinnya
menderu keras karena harus membawa beban terlalu banyak.
Perang dunia kedua tidak menyisakan
bentuk kekejaman apapun. Semua terlihat baik-baik saja. Perempuan-perempuan
Inggris tetap bisa melahirkan anaknya. Dan para lelaki bisa pergi ke ladang
atau hanya duduk-duduk menemani anjing dan kuda mereka. Keputusan Dad untuk
meninggalkan Canada dan menetap di London menjadi keputusan paling baik di
sepanjang kehidupan mereka yang monoton. Mom yang selalu menganggap dirinya
sebagai wanita bangsawan dengan semua peraturan yang dibuatnya, Dad yang jarang
pulang ke rumah setelah proses pengangkatan sebagai kepala dokter di rumah
sakit terbesar di Amerika, dan Granny yang lebih suka
merajut. Semua itu jauh lebih membosankan dari pada pohon pinus. Lizzi kerap
mengucap syukur dan tak sabar menanti perjalanan ini, setiap harinya.
“Tegapkan punggungmu, Elisabet! Mom
tidak mau kalau kau sampai menjadi bungkuk.”
Elisabet! Lizzi hampir tidak pernah
mendengar nama itu lagi kecuali dari mulut Mom. Wanita yang memiliki tatapan
tajam itu enggan memanggil si anak dengan nama sapaan
yang menurut dia tidak masuk akal, walau sang suami
menyukai nama itu, Lizzi.
“Truk
kita berderu-deru. Hampir mati aku mendengarnya.”
Mom
menoleh menatap Lizzi dengan tatapan mematikan. “Itu bukan jawaban yang tepat
untuk perintah Mom, Elisa!”
“Biarkan
dia bersandar, Issabel.” Dad menimpali santai. Meski tidak membuat Mom menarik
kembali perintahnya. “Perjalanan kita jauh. Wajar kalau dia kelelahan.”
“Aku
hanya ingin mengajarkan dia menjadi wanita yang baik, James!” Mom sinis.
James
melirik sekilas putrinya dari kaca mobil. “Menurutku dia sudah cukup baik.”
“Kau
terlalu memanjakan dia.” Mom mulai meradang, dan Dad berhenti menimpali.
Menurut Lizzi, itu yang membuat hubungan mereka tetap baik-baik saja.
“Lizzi’s right. Truk kita sepertinya
terus berderu, kau tidak ingin melihatnya sebentar, anakku?” ucap Nan sambil
menatap truk dari jendela belakang mobil. Lizzi ikut mendongak. Menatap truk
itu yang sedikit berguncang guncang, membuat barang-barang mereka
bergeser-geser. “Aku takut kita menjatuhkan sesuatu.”
Dad
kembali menatap lewat kaca mobil sebelum akhirnya menepikan mobil dan berhenti
sebentar untuk memastikan barang pindahan dalam keadaan baik-baik saja.
“It’s all right. Beberapa jengkal lagi
kita sampai di rumah. Barang-barangnya aman. Begitu juga dengan truknya.” Jawab
Dad sambil duduk kembali di kursi kemudi dan memakai sabuk pengamannya.
Lizzi
tersenyum menatap Granny yang terlihat lega. “Sebentar lagi kita
sampai, Granma.”
“Yes, finally.” Jawab Nan sambil mengusap kepala
Lizzi. Dia satu-satunya perempuan tua yang paling menyenangkan bagi Lizzi.
“Kau
kembali membungkuk, Elisa!” ujar Mom setelah mobil kembali melaju.
Lizzi
menatap Mom ketakutan dan lekas membetulkan posisi duduk.
“Aku
rasa rumah putih di depan itu rumah kita.”
Lizzy
antusias. “Mana, Dad?”
Mom
melotot melihat Lizzi mengangkat kakinya ke kursi agar dia bisa melihat rumah
barunya. “Itu, yang paling tinggi.”
Lizzi
menghiraukan tatapan Mom. Dalam posisi berlutut dan kedua kaki naik ke kursi,
Lizzi menempelkan kedua tangan mungilnya pada jendela. Menikmati pemandangan di sekitar rumah barunya
sambil tersenyum bahagia. “Wah, rumah baru kita indah.”
Selagi
Dad menurunkan barang-barang mereka dari truk, Mom dan Granny berkeliling melihat-lihat
pekarangan yang indah ditumbuhi bunga-bunga. Lizzi sendiri lebih memilih untuk
menghindari ketiganya, meskipun sepertinya asik kalau dia bisa memiliki Nan
terlebih dahulu. Mengajaknya berkeliling sambil bercerita panjang lebar, apa
saja yang akan mereka lakukan selama mereka bisa menetap di desa. Lizzi
antusias. Setelah sebelumnya dia tinggal selama sepuluh tahun di kota, akhirnya
dia mendapatkan suasana baru di London. Satu yang paling membuatnya bersemangat,
dia memiliki rumah luas yang pada bagian halaman terdapat pohon yang tumbuh
lebat. Dad sudah janji dia akan memberikan kamar yang luas untuk Lizzi. It’s gonna be fun, isn’t it?
“Wow!”
begitu ujar gadis mungil yang memiliki rambut dark-brown yang sangat indah itu,
ketika dia masuk ke dalam rumah. Setelah berjingkat kegirangan, dia berlarian
mengitari ruang tengah yang masih lengang tanpa perabotan, kemudia masuk
menembus koridor hangat yang tertimpa sinar matahari dari jendela kaca besar di
sisi kiri, masuk lebih dalam ke ruangan bundar yang sama lengangnya dengan
ruang tengah, dengan tangga menjulang di sisi ruangan.
Lizzi
berdiri tepat di tengah ruangan bundar itu. mengatur nafasnya sejenak sebelum
kemudian dia berputar-putar, membuat gaun selutut yang dia kenakan mengembang
mengikuti gerak tubuh dia. Setelah berjingkat beberapa kali, Lizzi berlari
menuju tangga. Menderapkan langkah kakinya pada tiap anak tangga, kemudian
turun kembali dan mendarat dengan satu lompatan keras.
“Elisa!!”
Lizzi
membeku ketika matanya bertemu pandang dengan mata Mom yang berkilat tertimpa
cahaya. Tak ada keteduhan yang bisa Lizzi dapatkan dari mata biru terang itu. Mata
itu terlalu dingin. Berbeda dengan mata Dad, Granny,
dan matanya yang teduh seperti rerumputan basah. Setelah Mom yakin Lizzi
ketakutan dan tidak akan mengulangi tingkahnya, dia pergi meninggalkan ruangan.
Membuat Lizzi terduduk lemas di anak tangga paling bawah. Sekali lagi,
tindakannya salah.
Lizzi
hampir tersenyum, ketika dilihatnya lelaki tua dengan tongkat menatapnya dari
rumah sebelah. Lizzi bisa melihatnya dari jendela besar yang ada di ruang
bundar ini. Tetapi hanya beberapa detik setelah Lizzi berdiri, lelaki tua itu
menoleh dan berjalan masuk ke dalam rumahnya yang kecil. “I hope you are as nice as my Grandma.” Ujar gadis itu lirih.
No comments:
Post a Comment