Bilik mesra, begitu kau menyebutnya.
Lenjeran bambu yang kau rangkai menjadi semacam tempat peraduan.
Berdiam diri begitu lama berkawan langit malam.
Begitu klik jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, kau tutup tugasmu, menghabiskan sisa waktu di sana.
Membayangkan bahwa bulan dapat berbicara.
Menyampaikan jawaban Tuhan atas apa yang kau utarakan.
Malam itu, kau kembali berdiam diri.
Memetik gitar mengalunkan nada-nada penuh harapan.
Menatap bulan merah seakan dia bisa menunjukkan arah.
Hatimu menahan rasa yang entah kapan bisa kau ungkap.
Pada hening malam yang syahdu, kau ingin para Malaikat bisa membaca nada-nada yang tengah kau mainkan.
Dalam dekap semilir angin dan langit yang pekat mendadak matamu terpejam.
Merapal inginmu pada satu bidadari yang bersemayam mesra dalam sanubari.
Lembut, hatimu mulai bicara.
"Tuhan, aku mencintai satu makhluk yang Engkau cipta. Namun tak mampu jua aku berkata yang sebenarnya kepada dia. Lewat nada-nada yang kumainkan, aku berharap semesta ikut mendengarkan doaku. Agar Kau sudi kiranya menjadi perantara rasa ini. LewatMu aku ingin perasaan ini tersampaikan. Agar dia mengerti, aku menaruh rasa, atas namaMu. Atas karuniaMu, perasaan ini ada."
Begitu kau buka kembali matamu, angin bergelayut seakan meng-amini.
Lantas kau tersenyum.
Tiada niat menyeka air mata yang tiba-tiba saja, ada.
Selamat Pagi Semestaku :)
ai
No comments:
Post a Comment