Mata
dingin itu menyejuk, tidak menusuk. Lizzi berusaha tetap mengatur napas. Akan
jadi masalah paling besar selama hidup kalau Mom tahu, dia menyembunyikan
boneka di bawah bantal putih bersih yang sekarang dia gunakan untuk bersandar.
Setelah merapikan tirai kamar Lizzi dan melipat selimut putih yang kemudian dia gantungkan pada jemuran kayu di sisi ruangan, Mom duduk di ranjang Lizzi. Entah
untuk keberapa kali, karena ini terlampau jarang, senyuman Mom menular.
Sambil
mengusap rambut Lizzi, Mom berkata, “Kau memiliki mata Dad. Sejuk. Seperti
padang rumput ketika Mom mebaca sebuah dongeng. Membuat setiap yang memandang
ingin berlama-lama singgah di sana.”
“Benarkah?”
Lizzi bertanya penuh keharuan.
Mom
mengangguk. “Mom sayang sekali padamu, Elisa.” Wanita itu mengecup kening Lizzi lembut, kemudian kembali berkata,
“Time to sleep. You need to take a rest.
Still remember. No lazzy, no rush,…”
“Not to be late, no crazy think, and no
lying. I Know, Mom. That’s on my mind.” Lizzi menirukan ucapan Mom dengan
fasih.
Tapi
kali ini Mom hanya tersenyum mengiyakan. “Good.
I love to hear that. Good night Honey. Sleep well.”
“You too.” Ujar Lizzi sambil mengamati
punggung Mom yang berjalan anggun menuju pintu.
Setelah
Mom keluar, Lizzi cepat-cepat mengambil boneka yang hari ini dia temukan di
loteng. Boneka cantik bermata indah. “You
used to be my bestfriend.” Ujar Lizzi sambil membelai rambut kumal boneka
itu. Lizzi menyibak sedikit tirai jendela yang terletak tepat di samping tempat
tidur. Mengamati keadaan sekitar yang sepi lengang, namun awan tampak begitu
megah berhias bintang-bintang. Rumah Grandpa sama sepinya. Yang bisa Lizzi
dengar hanya suara nyaring jangkrik. Hampir
sama seperti di Canada.
Lizzi
membaringkan boneka itu di sampinya kemudian merebahkan tubuh sambil menghela
napas. Dia belum sempat mengucap doa, ketika tiba-tiba suara pintu diketuk
beberapa kali. Lizzi mendongak saat engsel pintu diputar perlahan bahkan
sebelum Lizzi mempersilahkan dia masuk. Mata gadis itu mendadak was-was ketika
sepasang bola mata biru toska menatapnya ramah. Mata yang tidak dimiliki siapa pun di rumah ini.
“Lizzi,
come with me.” Gadis kecil pemilik
mata itu berkata lirih. Hampir berbisik tapi Lizzi tetap bisa mendengarnya.
“Lizzi! Come on! I have something I wanna show you.”
“What?” Lizzi keheranan. Pasalnya dia
tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Dan sekarang dia sudah berada di
ambang pintu kamar, di dalam rumahnya! Dari mana dia masuk? Mom tidak mungkin
membiarkan siapa pun masuk di jam tidur.
“Who are you? How could you know me and my name?” Ujar Lizi yang akhirnya menuruti gadis itu. Dia turun dari tempat
tidur, berjalan menghampiri gadis yang tak dikenalnya. “How did you come?”
Gadis
itu bertubuh gemuk. Dan terlihat lebih gemuk dengan baju kuno yang dia kenakan. Rambutnya keriting panjang berwarna coklat
gelap. Matanya teduh dan senyumannya benar-benar manis.
“Itu
tidak penting. Yang penting sekarang adalah, kita berteman. Dan aku akan
menunjukkanmu tempat-tempat bermain yang menyenangkan.” Jawab gadis itu seraya
menggandeng tangan Lizzi. “Take that doll
with us.”
Lizzi
menoleh. Menatap boneka yang terbaring di tempat tidur. Setelah tersenyum dan
mengangguk, Lizzi mengambil boneka itu.
Berlari kecil mengikuti gadis tak dikenal masuk ke ruang tengah. “Jangan bermain di sini. Mom bisa marah.”
“My names Ginni by the way. Kita tidak
akan bermain di sini. Kau lihat pintu itu?” Ginni menunjuk sebuah pintu yang
ada di sisi kanan ruang tengah. “Di balik pintu itu tempat bermain yang paling
menyenangkan.” Sambungnya.
“Ginni.”
Panggil Lizzi sebelum mereka mereka kembali melangkah. Saat Ginni menatap Lizzi
sambil menunjukkan senyuman manis, Lizzi kembali berkata lirih. “Thank you for being my friend”
Ginni
tidak menjawab. Gadis berambut coklat keriting itu justru memeluk Lizzi penuh
rasa kasih. Membuat Lizzi merasakan kehangatan di awal perkenalan mereka. “You’re welcome, my beloved friend.”
“Come on. Let’s play.” Ujar Lizzi memecah
keheningan yang sejenak dia rasakan.
“Okay.” Jawab Ginni
yang dengan semangat kembali menggandeng tangan Lizzi. Berlari ke arah pintu
dan masuk ke dalamnya.
Lizzi
diam sejenak begitu dia masuk ke dalam ruangan lengang yang luas. Sangat luas.
Barang-barang yang ada di dalamnya dirapikan berjajar di sekeliling tembok. Membuat bagian tengah ruang ini terlihat sangat
luas. Nyaman sekali untuk bermain.
“Basement
ini adalah tempat terbaik yang ada di dalam rumah.”
Lizzi
menatap Ginni ramah. “Kau sudah melihat-lihat rumahku?”
Berbeda
dari yang Lizzi bayangkan, Ginni justru menanggapinya dengan tawa. “Aku
mengenal rumah ini lebih dari siapa pun.”
Untuk kesekian kalinya, tangan gemuk Ginni menggandeng Lizzi ke tengah ruangan.
“Apa yang ingin kaumainkan, Lizzi?”
Lizzi
berfikir sejenak. “Aku tidak tahu. Kau?”
“Hide and seek. How?”
Lizzi
menanggapi dengan antusias. “Deal.”
“Kuhitung
sampai sepuluh dan kau harus sudah tidak terlihat.”
“Okay.” Lizzi bersemangat sambil
terlonjat-lonjat menunggu Ginni mulai menghitung.
“Okay. Ready? Go! One… two…”
Lizzi
tidak membutuhkan waktu lama untuk mencari tempat persembunyian. Dipindahkannya
beberapa kardus sampai menutupi tubuh mungilnya sehingga dia yakin dia sudah
tidak terlihat. Sambil berjongkok, Lizzi berusaha menahan tawa. Dia yakin
sekali, Gini pasti kesulitan menemukannya. Pasalnya di ruangan ini banyak
sekali kardus.
“Eight… nine… ten! Okay I’m done! Where are you Lizzi… come to Mommy little girl..”
ujar Gini dengan suara lirih. Lizzi bisa mendengar tiap langkah kaki gadis itu
yang tengah berupaya menemukan Lizzi. “Lizzi…” panggil Ginni lagi. “Where are you…” Tanpa dia sadari, Lizzi terkekeh dan membuat Ginni menoleh ke
arah kardus tempat Lizzi bersembunyi. “Oh Lizzi… I hear you…” ujar Ginni yang mendekat ke arah kardus. Tolol. Kali
ini Lizzi pasti ketangkap.
“Gotcha!!!” seru Ginni yang menangkap basah Lizzi yang
sontak berteriak terkejut. Keduanya tertawa kegirangan. Seakan ini bukan kali
pertama mereka bermain bersama. “Okay, sekarang giliran kau yang hitung!” ujar
Ginni setelah Lizzi keluar dari tempatnya.
“Okay I’ll start it. Ready?” Lizzi tersenyum melihat Ginni mengambi
ancang-ancang. “Go!”
“Ginni! I got you!”
Keduanya terkejut dan langsung
menoleh ke arah pintu basement
yang berbeda dari pintu tempat mereka masuk. Pintu
itu menghubungkan langsung basement dengan taman belakang. Lizzi berkesiap
melihat gadis berbeda yang memiliki wajah serupa dengan Ginni. Wajahnya
jangkung, matanya seperti caramel, rambutnya lurus sebahu, dan dia mengenakan
baju serupa dengan Ginni. Dia mirip sekali dengan boneka yang ditemukan Lizzi.
Dan, dia membawa boneka yang serupa dengan Ginni. Sebenarnya siapa mereka?
Kenapa meraka membuat Lizzi menampung banyak pertanyaan?
“Jenni? What are
you doing here?” Ginni bertanya ketakutan.”
“Here you are!”
Lizzi dan Ginni makin terkejut ketika tiba-tiba Grandpa
bertongkat muncul di belakang Jenni yang menunjukkan senyuman sinis. Di tangan Grandpa tergenggam pemukul
baseball usang yang terlihat berat. Lizzi sontak bersembunyi di balik tubuh
Ginni yang lebih besar darinya. Walau bisa Lizzi pastikan, Ginni jauh lebih
ketakutan dari pada Lizzi. Mata Grandpa menatapnya murka. Kedua tangan itu
masih memegang tongkat berat yang dipukul-pukulkan ringan ke telapak tangan.
Bersambung...
Before (Part #2) https://rahmymadina.blogspot.co.id/2017/05/that-doll-cerbung-part-2.html
After (Part #4) https://rahmymadina.blogspot.co.id/2017/05/that-doll-cerbung-part-4.html
Before (Part #2) https://rahmymadina.blogspot.co.id/2017/05/that-doll-cerbung-part-2.html
After (Part #4) https://rahmymadina.blogspot.co.id/2017/05/that-doll-cerbung-part-4.html
No comments:
Post a Comment