Saturday, May 20, 2017

That Doll (Cerbung Part 3)


Mata dingin itu menyejuk, tidak menusuk. Lizzi berusaha tetap mengatur napas. Akan jadi masalah paling besar selama hidup kalau Mom tahu, dia menyembunyikan boneka di bawah bantal putih bersih yang sekarang dia gunakan untuk bersandar. Setelah merapikan tirai kamar Lizzi dan melipat selimut putih yang kemudian dia gantungkan pada jemuran kayu di sisi ruangan, Mom duduk di ranjang Lizzi. Entah untuk keberapa kali, karena ini terlampau jarang, senyuman Mom menular.
Sambil mengusap rambut Lizzi, Mom berkata, “Kau memiliki mata Dad. Sejuk. Seperti padang rumput ketika Mom mebaca sebuah dongeng. Membuat setiap yang memandang ingin berlama-lama singgah di sana.”
“Benarkah?” Lizzi bertanya penuh keharuan.
Mom mengangguk. “Mom sayang sekali padamu, Elisa.” Wanita itu mengecup kening Lizzi lembut, kemudian kembali berkata, “Time to sleep. You need to take a rest. Still remember. No lazzy, no rush,…”
Not to be late, no crazy think, and no lying. I Know, Mom. That’s on my mind.” Lizzi menirukan ucapan Mom dengan fasih.

Tapi kali ini Mom hanya tersenyum mengiyakan. “Good. I love to hear that. Good night Honey. Sleep well.”
You too.” Ujar Lizzi sambil mengamati punggung Mom yang berjalan anggun menuju pintu.
Setelah Mom keluar, Lizzi cepat-cepat mengambil boneka yang hari ini dia temukan di loteng. Boneka cantik bermata indah. “You used to be my bestfriend.” Ujar Lizzi sambil membelai rambut kumal boneka itu. Lizzi menyibak sedikit tirai jendela yang terletak tepat di samping tempat tidur. Mengamati keadaan sekitar yang sepi lengang, namun awan tampak begitu megah berhias bintang-bintang. Rumah Grandpa sama sepinya. Yang bisa Lizzi dengar hanya suara nyaring jangkrik. Hampir sama seperti di Canada.
Lizzi membaringkan boneka itu di sampinya kemudian merebahkan tubuh sambil menghela napas. Dia belum sempat mengucap doa, ketika tiba-tiba suara pintu diketuk beberapa kali. Lizzi mendongak saat engsel pintu diputar perlahan bahkan sebelum Lizzi mempersilahkan dia masuk. Mata gadis itu mendadak was-was ketika sepasang bola mata biru toska menatapnya ramah. Mata yang tidak dimiliki siapa pun di rumah ini.
“Lizzi, come with me.” Gadis kecil pemilik mata itu berkata lirih. Hampir berbisik tapi Lizzi tetap bisa mendengarnya. “Lizzi! Come on! I have something I wanna show you.”
What?” Lizzi keheranan. Pasalnya dia tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Dan sekarang dia sudah berada di ambang pintu kamar, di dalam rumahnya! Dari mana dia masuk? Mom tidak mungkin membiarkan siapa pun masuk di jam tidur. “Who are you? How could you know me and my name?” Ujar Lizi yang akhirnya menuruti gadis itu. Dia turun dari tempat tidur, berjalan menghampiri gadis yang tak dikenalnya. “How did you come?
Gadis itu bertubuh gemuk. Dan terlihat lebih gemuk dengan baju kuno yang dia kenakan. Rambutnya keriting panjang berwarna coklat gelap. Matanya teduh dan senyumannya benar-benar manis.
“Itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah, kita berteman. Dan aku akan menunjukkanmu tempat-tempat bermain yang menyenangkan.” Jawab gadis itu seraya menggandeng tangan Lizzi. “Take that doll with us.
Lizzi menoleh. Menatap boneka yang terbaring di tempat tidur. Setelah tersenyum dan mengangguk, Lizzi mengambil boneka itu. Berlari kecil mengikuti gadis tak dikenal masuk ke ruang tengah.  “Jangan bermain di sini. Mom bisa marah.”
My names Ginni by the way. Kita tidak akan bermain di sini. Kau lihat pintu itu?” Ginni menunjuk sebuah pintu yang ada di sisi kanan ruang tengah. “Di balik pintu itu tempat bermain yang paling menyenangkan.” Sambungnya.
“Ginni.” Panggil Lizzi sebelum mereka mereka kembali melangkah. Saat Ginni menatap Lizzi sambil menunjukkan senyuman manis, Lizzi kembali berkata lirih. “Thank you for being my friend
Ginni tidak menjawab. Gadis berambut coklat keriting itu justru memeluk Lizzi penuh rasa kasih. Membuat Lizzi merasakan kehangatan di awal perkenalan mereka. “You’re welcome, my beloved friend.”
Come on. Let’s play.” Ujar Lizzi memecah keheningan yang sejenak dia rasakan.
Okay.” Jawab Ginni yang dengan semangat kembali menggandeng tangan Lizzi. Berlari ke arah pintu dan masuk ke dalamnya.
Lizzi diam sejenak begitu dia masuk ke dalam ruangan lengang yang luas. Sangat luas. Barang-barang yang ada di dalamnya dirapikan berjajar di sekeliling tembok. Membuat bagian tengah ruang ini terlihat sangat luas. Nyaman sekali untuk bermain.
Basement ini adalah tempat terbaik yang ada di dalam rumah.”
Lizzi menatap Ginni ramah. “Kau sudah melihat-lihat rumahku?”
Berbeda dari yang Lizzi bayangkan, Ginni justru menanggapinya dengan tawa. “Aku mengenal rumah ini lebih dari siapa pun.” Untuk kesekian kalinya, tangan gemuk Ginni menggandeng Lizzi ke tengah ruangan. “Apa yang ingin kaumainkan, Lizzi?”
Lizzi berfikir sejenak. “Aku tidak tahu. Kau?”
Hide and seek. How?
Lizzi menanggapi dengan antusias. “Deal.”
“Kuhitung sampai sepuluh dan kau harus sudah tidak terlihat.”
Okay.” Lizzi bersemangat sambil terlonjat-lonjat menunggu Ginni mulai menghitung.
Okay. Ready? Go! One… two…”
Lizzi tidak membutuhkan waktu lama untuk mencari tempat persembunyian. Dipindahkannya beberapa kardus sampai menutupi tubuh mungilnya sehingga dia yakin dia sudah tidak terlihat. Sambil berjongkok, Lizzi berusaha menahan tawa. Dia yakin sekali, Gini pasti kesulitan menemukannya. Pasalnya di ruangan ini banyak sekali kardus.
Eight… nine… ten! Okay I’m done! Where are you Lizzi… come to Mommy little girl..” ujar Gini dengan suara lirih. Lizzi bisa mendengar tiap langkah kaki gadis itu yang tengah berupaya menemukan Lizzi. “Lizzi…” panggil Ginni lagi. “Where are you…” Tanpa dia sadari, Lizzi terkekeh dan membuat Ginni menoleh ke arah kardus tempat Lizzi bersembunyi. “Oh Lizzi… I hear you…” ujar Ginni yang mendekat ke arah kardus. Tolol. Kali ini Lizzi pasti ketangkap.
         “Gotcha!!!” seru Ginni yang menangkap basah Lizzi yang sontak berteriak terkejut. Keduanya tertawa kegirangan. Seakan ini bukan kali pertama mereka bermain bersama. “Okay, sekarang giliran kau yang hitung!” ujar Ginni setelah Lizzi keluar dari tempatnya.
           “Okay I’ll start it. Ready?” Lizzi tersenyum melihat Ginni mengambi ancang-ancang. “Go!
            “Ginni! I got you!
            Keduanya terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu basement yang berbeda dari pintu tempat mereka masuk. Pintu itu menghubungkan langsung basement dengan taman belakang. Lizzi berkesiap melihat gadis berbeda yang memiliki wajah serupa dengan Ginni. Wajahnya jangkung, matanya seperti caramel, rambutnya lurus sebahu, dan dia mengenakan baju serupa dengan Ginni. Dia mirip sekali dengan boneka yang ditemukan Lizzi. Dan, dia membawa boneka yang serupa dengan Ginni. Sebenarnya siapa mereka? Kenapa meraka membuat Lizzi menampung banyak pertanyaan?
            “Jenni? What are you doing here?” Ginni bertanya ketakutan.”
            “Here you are!
            Lizzi dan Ginni makin terkejut ketika tiba-tiba Grandpa bertongkat muncul di belakang Jenni yang menunjukkan senyuman sinis. Di tangan Grandpa tergenggam pemukul baseball usang yang terlihat berat. Lizzi sontak bersembunyi di balik tubuh Ginni yang lebih besar darinya. Walau bisa Lizzi pastikan, Ginni jauh lebih ketakutan dari pada Lizzi. Mata Grandpa menatapnya murka. Kedua tangan itu masih memegang tongkat berat yang dipukul-pukulkan ringan ke telapak tangan.


No comments:

Post a Comment