Ruangan ini cukup terang. Tapi tidak lebih terang dari loteng yang terkena sinar matahari, yang secara terang-terangan masuk menembus kaca kusam berdampingan di sisi kiri. Sena pernah mengajakku ke sana. Aku tahu detail isi rumah ini sefasih Sena mengetahuinya. Lantai kayu yang berdenyit, suara mesin jam ukuran besar di ruang tengah yang menggema, juga mainan yang berserakan di mana-mana. Semua itu terlalu mudah untuk dihafal sejak sepuluh tahun silam. Tidak ada yang berubah di sini. Termasuk kebiasaan Sena membuka pintu dengan sedikit hentakan, disusul dengan teriakan melengking yang berbunyi, “aku pulaaaaaaaang!!” saat pulang sekolah. Aku jelas lebih menghafalnya dibandingkan siapapun.
Pernahkah kau membaca cerita dimana benda mati menjadi saksi terkuat kehidupan? Belum? Kalau memang belum, petualanmu akan dimulai dari, sekarang!
Usia gadis itu belum genap sepuluh tahun saat pertama kali aku datang di rumah ini. Gerakannya gesit, pandangannya tajam, tingkahnya sulit dikendalikan, dan pemberani. Kalau saja Mama membiarkan dia minum menggunakan gelas kaca biasa, aku yakin sekali gelas di rumah ini akan habis dalam waktu satu hari. Atau bahkan kurang dari itu. Tidak ada satu orang pun di rumah ini yang benar-benar mengerti Sena. Apa keinginan gadis itu, juga apa yang sedang dia rasakan.
Siang itu, Sena pulang dengan wajah murung. Setelah dia masuk ke dalam kamar, dia menguci rapat-rapat pintu dan jendela, dan tidak membiarkan sedikitpun cahaya menembus masuk ke dalam. Mama dan Papa belum pulang dari kantor. Sena merasa lebih kesepian. Hanya ada aku dan dia. Melihatnya menangis sesegukkan, sebenarnya membuatku iba. Ingin merengkuhnya ke dalam pelukanku yang aku yakin dia suka.
Sena mengerling. Menatap mataku dengan kedua mata biru terangnya yang basah penuh genangan. Seakan mengerti apa maksudku, gadis itu meraih tanganku yang kuulurkan ke arahnya. Menggenggamnya semakin erat sebelum senyuman pertamanya muncul perlahan. Tipis tapi bisa membuatku lega.
“Apa kau terluka?”
Sena menggeleng. Tangan mungilnya masih menggenggam tanganku. “Kenapa aku tidak sama dengan mereka, Ero?”
“Mereka? Siapa yang kau maksud? Apa bedamu dengan mereka?”
Sena kembali menangis. Aku tidak menahannya sama sekali. Gadis itu masih dalam keadaan paling buruknya. Mungkin menangis adalah cara terbaik untuk mengembalikan perasaannya. Biarkan air yang mengalir di kedua pipinya membawa serta rasa gundahnya.
“Aku hanya ingin dianggap sama, Ero. Aku tidak mau selalu dijadikan bahan ejekan.”
Aku semakin iba. “Apa maksudmu? Kau gadis yang sempurna, Sena. Lihatlah dirimu lebih dekat. Kau cantik dengan kedua mata indahmu, dengan rambut hitammu yang berkilau. Kau benar-benar gadis terbaik yang aku kenal.”
Sena masih menangis. “Mungkin aku sempurna, tapi orang tuaku tidak, Ero. Mereka aneh. Mereka tidak sama dengan orang tua teman-temanku. Yang setiap hari tidak pernah terlambat menunggu mereka di depan pintu gerbang sekolah.”
“Jadi mereka mengejekmu karena orang tuamu seakan tidak mempedulikanmu.”
“Mereka memang tidak.”
“Kau salah Sena. Mereka mempedulikanmu. Hanya saja kau belum menyadari itu.”
“Mana buktinya?” Sena menuntut. Tatapannya tajam meski terhalang air mata.
“Sekolahmu tidak jauh dari rumah. Kau bisa pulang sendiri. Harusnya kau bangga karena kau mandiri.”
“Aku tidak bangga sama sekali Ero, aku hanya ingin melihat Papa atau Mama berdiri menungguku. Seperti orang tua Diana. Seperti Ayah Sila. Seperti Mama Ken. Atau yang lainnya. Mereka tidak pernah sekalipun melakukannya.”
Aku tersenyum. Menarik kembali tangan gadis itu yang genggamannya melonggar. “Kau lupa.” Ujarku yang membuat tangis Sena sedikit mereda. “Aku saksi ketulusan mereka Sena sayang. Satu diantara mereka pernah merelakan waktu makan siangnya hanya untuk menjempumu di sekolah. Dan saat kau bertemu denganku berkat kegigihan papa, kau lupa itu Sena?”
“Mereka hanya sekali melakukannya.”
“Percayalah. Mereka hanya yakin bahwa Sena, putri mereka adalah gadis terbaik dari semua anak yang ada di dunia ini. Mereka percaya kamu mandiri. Jangan dengarkan teman-temanmu. Mereka hanya iri padamu.”
Tangisan Sena benar-benar berhenti sekarang. “Benarkah?”
Aku mengangguk. Hari itu adalah hari pertama Sena melantikku menjadi sahabat karibnya, setelah sekian lama aku selalu berusaha mencuri perhatian gadis itu.
Hari itu juga, Sena mulai mengenalkanku pada rumahnya yang antik. Beberapa hiasan kuno dipajang di sudut-sudut ruangan dengan penerangan remang-remang. Tempat terbaik dari bangunan ini adalah lotengnya yang luas dan memiliki teropong bintang. Aku sudah mengatakan kepada Sena kalau aku menyukai ruangan itu. Sebab utama mengapa akhirnya aku sering menghabiskan waktu di sini, sambil menunggu Sena pulang. Tidak menyenangkan sama sekali, berada di rumah yang seakan tak berpenghuni ini. Aku selalu kesepian menunggu Sena pulang. Pun tidak mungkin ikut serta duduk di bangku sekolahannya.
Begitu seterusnya. Aku menemani Sena sarapan, kemudian naik ke loteng, menunggunya pulang. Menghabiskan waktu bersamanya adalah hal yang paling membahagiakan. Aku rasa Sena juga mulai memahamiku, karena dia selalu membuatku merasa nyaman berada di dekatnya.
* * *
“Ero, bukankah hari ini harusnya menjadi hari yang cerah?”
Sena cemberut. Aku tersnyum menatapnya yang murung menatap halaman yang bsah kuyup lewat jendela kamarnya. Sejak pagi hingga siang, matahari memang begitu kekar memancarkan sinar. Karena itu aku menerima ajakannya untuk bermain di taman kota dekat rumah kami. Rumah kami? Ya, benar. Aku pun tinggal bersamanya, di rumah ini. Kami tak terpisahkan.
“Hujan indah ya?” aku tersenyum. Alis gadis itu berkerut menoleh kearahku. “Aku suka hujan.”
“Tapi gara-gara hujan kita nggak jadi ke taman?”
“Iya, berarti kita punya banyak waktu untuk makan sup, atau minum coklat panas. Katamu kau lapar?”
Sena bingung. Bibirnya masam. “Aku ingin ke taman.”
“Besok kita ke taman, Sena. Sekarang kita makan dulu.”
“Kalau besok hujan lagi?”
“Kita berangkat saat langit cerah.”
Sena tersenyum tipis. “Kalau tiba-tiba di jalan turun hujan?”
“Aku tidak takut hujan. Hujan hanya air. Air selalu membawa kesejukkan.”
Aku melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Sena mengangguk setuju. Dia beranjak dari bangku panjang dekat jendela, mengikuti saranku untuk makan sup hangat.
Sena selalu manis di mataku. Gadis cantik yang begitu natural. Cara dia berbicara yang penuh semangat, cara dia duduk yang tidak anggun sama sekali tapi mempesona, cara berjalannya yang hampir tak bisa dikategorikan sebagai langkah macam apa karena selalu berderap, juga cara dia makan yang tak pernah membiarkan mulutnya kosong barang sejenak, sebelum makanan di piringnya terkuras habis.
* * *
“Selamat malam Ero. Aku mencintaimu.”
Kalimat itu yang terakhir aku dengar dari Sena sebelum aku menutup mataku. berbaring tepat di sampingnya, di bawah satu selimut yang sama dengannya. Mendengar bunyi nafasnya yang tenang, dan merasakan detak jantungnya yang berirama indah. Sudah bukan waktu yang sebentar. Aku dan Sena berkawan waktu demi waktu. Aku hampir tidak menyadari kalau gadis itu sudah berbeda. Saat aku terbangun dari tidurku, mendadak aku sedikit tidak percaya bahwa dirinya mulai beranjak dewasa. Kakinya sudah hampir sepanjang tempat tidur kami.
Sena sekarang bukan gadis kecil lagi. Tubuhnya tinggi semampai. Lehernya jenjang, kakinya menjulang, dan matanya semakin indah. Satu yang aku suka dari Sena, sikapnya tidak pernah berubah. Sena tetap gadis manis yang baik, sama seperti Sena yang pertama kali aku kenal, semalam dia sempat bercerita padaku kalau hari ini dia ikut lomba matemmatika di sekolahnya. Semalaman aku menemaninya menyelesaikan soal latiah yang berates-ratus jumlahnya. Bahagia aku melihat dia semakin gigih.
Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Harusnya sebentar lagi dia sudah pulang. Aku sudah tidak sabar mendengarkan ceritanya.
“Aku pulaaaang…”
Tepat sekali. Suara debam kakinya langsung mengisi seluruh ruangan. Aku menahan diri sejenak. Membiarkan Sena dan Mama menghabiskan waktu bersama lebih dahulu.
“Bagus, Mama bangga sekali. Mama yakin kamu pasti menang.” Begitu komentar Ibunya saat Sena menceritakan reka adegan di memorynya dengan antusias. “Sekarang kamu ganti seragam kamu. Mama akan siapkan spageti cees kesukaan kamu. Okay?”
Sena tertawa bahagia. “Okay.” Begitu usai, aku mendengar suara kaki lincah itu menaiki tangga dan tidak lama kemudian, aku bisa melihat rona bahagia yang dia tunjukkan kepadaku. “Ero, aku berhasil. Aku bisa mengerjakan semuanya dengan mudah. Terima kasih Ero.”
Aku tersenyum geli. “Terima kasih untuk apa? Aku tidak melakukan apapun. Kau memang cerdas.”
Sena memelukku sejenak. “Tentu saja semua ini juga berkat kamu. Coba kalau semalam kamu tidak menemaniku mengerjakan latihan. Aku tidak mungkin bisa semudah ini menyelesaikan soal-soal mengerikan itu.”
Aku memanndangnya haru. Yakin sekali kalau dia pasti bisa meraih hasil yang terbaik. “Aku yakin kau akan menang.”
“Mama juga bilang begitu.”
“Yang penting kamu harus yakin.”
Sena mengacungkan ibu jarinya. “Tentu. Oh iya, hari ini aku akan mengajakmu ke…”
“Sena?” Sena berbalik. Tersenyum mendapati Mama sudah berada di ambang pintu kamarnya. Mama memandangnya sejenak sebelum kembali berkata. “Spagetimu hampir selesai, kau mau makan sekarang?”
“Ya, aku akan menyusul.”
Siang itu matahari terasa terik. Mama terlihat sibuk dengan seeorang di seberang sana lewat ponselnya. Aku dan Sena duduk berdua di ruang TV. Sesekali memperhatikan tingkah Mama yang gusar. Sementara Papa belum juga kembali dari kantor. Beberapa saat setelah itu, Mama akhirnya menghampiri kami berdua.
“Sena, hari ini kau ada acara?” Sena menggeleng. “Ikut Mama sebentar. Ajak Ero juga.”
Mata Sena membelalak. Dia menatapku bahagia. Ini kali pertamanya Mama mengajak kami berdua pergi bersama.
* * *
Ruangan ini didominasi oleh cat warna putih. Beberapa pintu hanya menggunakan kaca berbingkai, namun kebanyakan tertutup seperti ruang isolasi. Mama masuk ke dalam salah satu ruangan, yang pada pintunya tergantung papan nama Shinta. Sementara aku dan Ero menunggu di ruang tunggu yang luas berisi sebuah sofa besar dan tiga buah sofa kecil.
“Kau tahu ini tempat apa Ero?”
Aku menoleh. Menatap mata Sena yang penuh tanya. “Entahlah. mungkin Mama ada urusan kerja.”
Sena mengangguk. Belum selesai matanya menyapu seisi ruangan, Mama sudah muncul dari tikungan. Wajah cemasnya membuat aku dan Sena gusar. “Sayang, ikut Mama sebentar.” Sena ragu sejenak namun akhirnya kenurut. “Bawa Ero.” Sambungnya. “Apapun yang terjadi nanti, ingat Sena sayang. Apa yang Mama lakukan semata-mata karena Mama sayang Sena. Mengerti?” Sena hanya mengangguk.
Ibu Shinta menyambut kami dengan ramah. Matanya langsung memandang aku dan Sena bergantian. Berbeda dengan Mama, Bu Shinta justru nampak tenang. Sangat tenang. “Kau pasti Sena.” Begitu ucapnya. “Dan ini pasti Ero.”
Sena mengangguk. Dia sedikit merasa nyaman. “Hai…” ucapnya ramah.
“Silakan duduk.”
Kamu menurut. Kedua tangan Sena memelukku erat-erat. “Sena, berapa usiamu?”
“Hampir tujuh belas.”
“Dan Ero?”
Sena bingung, dia menatap Mama ragu. “Suamiku membawanya ke rumah saat Sena berusia sepuluh tahun.”
“Oh, benarkah? Kau merawatnya dengan baik Sena.” Ujar Bu Shinta. Kembali menatap kami berdua bergantian. “Sena, kalau boleh ibu tahu, siapa Ero dimatamu?” Ada sedikit pukulan yang dalam saat Ibu Shinta menanyakan hal itu. ada apa sebenarnya? Kenapa dia harus bertanya seakan ragu padaku? “Ero boneka yang sangat lucu. Apa dia sangat spesial untukmu?”
Sena memincingkan matanya. “Ero spesial untukku. Dia yang selalu ada saat Mama dan Papa tidak ada di dekatku.” Nada suara Sena terdengar sinis. Agaknya dia tidak suka mendengar Bu Shinta menyebutku boneka.
Ibu Shinta tersenyum. Sedih aku melihat sikapnya yang seakan ingin meyakinkan Sena. “Iya, dia memang sahabat yang baik.”
“Apa ibu menganggapku gila? Ma, kenapa Mama jadi seperti ini?” Sena menatap Mama penuh amarah. Kenyamanannya beberapa menit yang lalu seketika musnah. Sementara aku tidak bisa berkutik di dalam pangkuannya.
“Ibu tidak menganggapmu gila, Sena. Tapi, bukankah tidak pada tempatnya, kalau kau mengajaknya bicara seakan dia bernyawa?”
“Dia bernyawa!” Sena mulai geram. “Aku bisa mendengarnya. Dan hanya aku yang bisa! Ma, aku mau pulang. Sekarang!”
* * *
Sore itu kami saling diam. Menatap langit biru dari balik jendela kamar Sena, seperti biasa. gadis itu tengah mengalami perdebatan batin yang cukup pelik. Pandangan matanya begitu lemah. Tak kuasa aku terus menatapnya. Begitu pintu kamar diketuk, gadis itu sontak mendekapku lebih erat. Takut kalau Mama berniat jahat dengan memisahkan kami.
“Jangan memandang Mama dengan tatapan sebengis itu, Sena. Mama bukan penjahat yang ingin mencelakaimu.” Sena tidak menjawab. matanya masih mengawasi gerakan Mama, sampai Mama duduk di hadapannya. “Mama sayang Sena.”
“Tapi tidak sayang Ero.”
“Mama sayang Ero. Mama justru harus berterima kasih kepadanya karena dia yang selama ini menemanimu.” Pandangan Sena menajam. Hampir melotot. “Tapi, Mama juga ingin minta maaf kepadamu, Sena.” Sena bingung, kedua tangannya masih mendekapku erat-erat. “Maaf, karena Mama tidak punya waktu denganmu, hingga kau membaginya lebih besar kepada Ero. Andai Mama bisa menukar posisi Mama dengan Ero, Mama dengan senang hati melakukannya.
Sorot mata Sena sontak berubah. “Mama?”
“Maafkan Mama, sayang.” Ujar mama sambil menangis sesegukkan. Dipeluknya Sena reat-erat walau tangan gadis itu tak melepaskan aku dari dekapannya.
Setelah kejadian sore itu. Sena mendadak lunak. Mama berhasil merebut hati gadis itu, walau dia masih tetap waspada. Hari ini Sena memenuhi permintaan Mama untuk kembali ke tempat Bu Shinta. Lebih karena dia ingin membuktikan bahwa aku ada.
“Boleh Ibu bertanya, apa kau yakin dia bisa bicara?”
“Ya!” Sena menjawab tegas. Pnuh kemantapan.
Bu Shinta kembali menunjukkan senyumannya yang tenang. Membuatku semakin sedih menatapnya. “Kalau begitu, ikut ibu sebentar.”
“Aku tidak mau!”
Bu Sinta berdiri dari tempat duduknya. Mendekati Sena perlahan. Merangkul pundak gadis itu penuh kasih sayang. “Sebentar saja. agar ibu percaya kalau Ero bernyawa.”
Sena kembali sinis. Masih tidak terima dengan ucapan Bu Shinta. Tapi kali ini dia menurut, meski Mama tidak sedikitpun bersuara. Aku tahu Sena hanya ingin membuktikan bahwa apa yang dia katakana adalah kenyataan.
* * *
Ruangan ini kosong. Seperti kotak tak berbatas. Bila kau bersuara sedikit saja, maka dinding-dinding bercat putih ini akan seketika memantulkan suaramu. Di tengah-tengah ruangan sudah tersedia dua kursi dengan bentuk sama. Bu Shinta menarik salah satunya menjauh dari kursi yang paling dekat dengan pintu. Setelah dirasa cuckup, Bu Shinta tersenyum menghampiri Sena. “Boleh aku meminjamnya sebentar?”
Sena ragu. “Apa yang ingin anda lakukan.”
“Menyelamatkanmu?”
“Aku tidak sedang dalam bahaya.”
Alis Bu Shinta terangkat. “Akan Ibu pastikan bahwa ucapanmu benar. Kalau begitu, kau sendiri yang meletakkannya di kursi itu. dudukkan dia di sana.” Bu Shinta menunjuk kursi yang baru saja dipindahkannya. Sambil terus menatap Bu Shinta was-was, Sena menurut.
“Kau akan baik-baik saja, Ero.” Begitu ucapnya padaku.
“Dan kau duduk di sini.” Ujar Bu Shinta lagi. “Kami akan meninggalkanmu berdua dengannya. Coba kau perhatikan dia baik-baik dalam jarak sejauh ini. Ajak dia bicara. Buktikan kalau dia benar-benar bisa menjawabmu.”
Sena tidak menjawab. pandangan matanya penuh kebencian. Begitu dua orang itu pergi, seketika aku merasa murung. Ruangan ini terang dan luas. Sena terlihat begitu jauh dari pandanganku. Aku mencoba untuk terus menatap matanya dalam-dalam. Ingin meyakinkannya bahwa aku nyata.
“Ero…” dia memanggilku. Entah bagaimana, terjadi perdebatan batin yang luar biasa hebat pada diriku. Tak kuasa membalasnya. “Ero kau mendengarku?” Sena kembali berkata, namun pikiranku semakin kacau. Aku merasa tidak nyaman berada di sini.
Aku tertunduk, mengfokuskan pikiranku kepada gadis itu. “Ero aku yakin kau mendengarku. Bicaralah.”
Aku tetap diam. Tidak bisa menjawab.
“Ero, kenapa jadi seperti ini?” Sena mulai menangis. Sekuat tenaga dia mencoba untuk menghidupkanku tapi tidak bisa. “Ero, kau tidak akan meninggalkanku bukan?”
Sena mulai panik. Rasa kehilangan menyelimuti dirinya. Aku mulai bicara, tapi tidak pada Ero. Melainkan pada dirinya. “Aku di sini Sena. Sejak pertama kita bertemu, aku selalu di sini.”
Sena mengerjap mendengar suaraku. Dia menatap boneka beruang itu lekat-lekat. Tidak dari boneka itu suara Ero dia dengar. “Ero?” panggilnya lagi.
“Sena, aku di sini. Di dalam dirimu?”
Seketika aku merasakan kehangatan, saat Sena menyadarinya. Ero ada pada dirinya. Berbicara melalui dirinya. Berbicara dengan suara yang hanya bisa dia dengar. Ero ada tidak pada boneka itu. Tapi ada pada hatinya.
Dalam sekejap waktu, ruangan itu terisi oleh suara tangis Sena. Badannya lemas jatuh tersungkur pada lantai putih bersih. Menyadari kekeliruannya selama ini. Dia terlalu kesepian untuk menyadarinya. Dia merasa seorang diri untuk meyakini bahwa sekitaarnya begitu kosong. Dan sekarang, dalam ruangan yang jauh lebih kosong ini, Sena mengerti. Aku tidak pernah hadir dalam bentuk apapun selain dirinya. Aku tidak berainkarnasi menjadi apapun. Ero hanyalah sebuah boneka beruang yang lucu.
* * *
Sena menyerahkan boneka itu kepada Ibu Shinta. Matanya yang sembab tidak ragu membalas tatapan wanita muda itu. “Aku ingin kau menjaganya. Aku rasa dia suka di sini.”
“Baiklah, siapa aku harus memanggilnya?”
Sena tersenyum tipis. “Ero. Aku tetap mengenalnya walau aku tidak menjumpai dirinya lagi dalam boneka itu.”
Bu Shinta tersenyum. Dipeluknya Sena dengan penuh kasih sayang. “Dia ada pada dirimu sayang.”
Sena mengangguk. Menatap Mama sambil menunjukkan senyuman manis, tanda bahwa dia mengerti.
No comments:
Post a Comment