Wednesday, May 17, 2017

Kelas Menulis #6 - Tips Menulis Cerita


Penguatan Tokoh

Haiiii
Selamat Malam. 😄
Sebenarnya, malam itu paling asyik buat menyulam harap, membungkus mimpi. Kalau mimpinya dengan mata terbuka dan dengan sedikit usaha, nggak lama lagi lah mimpi itu bisa nyata. 😊

Jadi, gimana ceritaku tadi? Semoga asyik yaa. Tunggu kelanjutannya besok pagi ya kawan kawan.😘

Kali ini aku mau bahas soal pengarakteran lagi.
Gimana sih cara biar karakter yang ada pada cerita kita kuat?
Begini.

Tiap orang itu punya ciri, kelebihan, kelemahan, dan segala macam hal yang Tuhan karuniakan kepada mereka, kepada kita. Kita sebagai seorang penulis harusnya bisa menjadi satu-satunya pihak netral yang bisa menerima dan "menikmati" adanya mereka, lengkap dengan semua yang Tuhan berikan kepada kita lewat mereka.

Ada banyak pemisalan, di antara kita semua banyak mereka yang bahkan kadang membuat kita jengkel, kesal, tak terima, sedih, nesu, senang, tertarik, dan jenis perasaan lain. Cermati mereka, cermati tindak tanduk mereka ketika mereka tengah berbuat, bersikap, bertindak. Mereka unik, ketika kita mampu menerima dengan arif, yakinlah akan ada banyak yang bisa kita terima dari mereka. 😊

Aku pribadi suka mengamati orang. Cara dia pegang dompet, duduk, memosisikan diri di tengah ramai. Bahkan yang berjalan seorang diri melintas lapangan. Kata salah seorang dosen, tidak banyak orang berani melakukan itu. Jalan seorang diri melintas di tengah lapangan. Nah, alangkah entah ketika ternyata aku tidak termasuk golongan itu. Aku suka jalan sendirian, apalagi nglintas lapangan di tengah-tengah gedung kampusku. Bukan caper atau carmuk atau apalah, aku suka aja. Buat aku, nge-cross jalan dan menginjak rumput punya sensasi yang menyenangkan. 

Nah, akhirnya aku suka mengamati tiap orang yang melintas lapangan itu.

Bagi penulis terutama, pengamatan dan proses mencari info lewat mengamati itu mutlak hukumnya. Kita harus benar-benar memiliki banyak wawasan dari orang-orang di sekitar kita. Menangkap kejadian terkecil sekalipun yang tak tertangkap mata awam. Dan yang perlu kita miliki adalah kepekaan. Penulis itu mutlak, wajib, harus peka.

Misalnya, orang yang berbohong, omongannya pasti sedikit nglantur, membahas objek yang menjadi kebohongannya dengan konteks penolakan secara berlebihan, bicara menggebu-gebu, dan tak berani balas menatap. Benar atau tidak, kebanyakan dari mereka yang aku amati, begitu.

Nah, langsung saja aku kasih contohnya. 

Ini secuil kisah nyata yang aku olah ke fiksi, ketika aku dan teman-teman lagi asyik nonton teater.

Langsung cus aja liat yuk, cermati bareng-bareng 😊

************

Anjing!
Ada yang membicarakan aku, terang-terangan. Entah sengaja atau tidak. Tapi bagiku mereka anjing!

Dua orang, sepasang. Laki-laki dan perempuan yang duduk saling berhimpitan di gedung gelap yang mengepung pertunjukkan teater. Perokok akut yang mematikan bara hanya gara-gara burung dara itu tak lebih dari seorang pengecut. Lelaki itu pembohong kelas akut! Dan perempuan itu malah percaya saja.

Dia, lelaki itu adalah pengecut. Apa yang dia tahu tentang teater. Apa pula urusan dia mengatai aku otak kosong? Apa pula otaknya! Persetan!

Aku memang tak lebih dari seorang ketua organisasi yang begitu jaya ketika aku tidak sebagai ketua. Sudah kubilang, jangan angkat aku jadi ketua. Mereka tak percaya. 

Aku suka dengan kehidupanku yang bebas tak terikat. Setiap kali mereka butuh masukan, aku tidak pernah tidak memberi. Aku selalu ada. Sambil asyik menikmati rokok yang berbatang-batang, celana rombeng, rambut gondrong yang selalu bau sampo, kaos hitam kumal kesukaan karena ibuku yang belikan, dan gitar yang senarnya hilang satu, biasanya aku mengomando mereka menyusun proposal untuk ditembuskan ke dekan. Tapi, begitu aku asyik punya pacar, dan diangkat jadi ketua. Bajing! Inpirasiku malah koyak di meja bundar yang bebal. Habislah aku! 

Tak ada yang bisa aku berikan selain kanvas-kanvas dengan cat tebal menggambarkan kesuntukkan. Aku tak betah lagi di sana. Hilir mudik di bangunan kuliah dengan pakaian rapi. Mereka bilang aku abai, padahal aku cuma tak suka dengan undang-undang mereka yang sialan. Aku bertahan untuk Hening. Tapi Hening makin hening justru ketika aku bicara, aku tak suka. Siapa yang aku pacari? Kenapa makin tak kukenal. 

Bedebah di sampingku justru bicara seenaknya, mengatai aku otak gila, tak punya hati. Apa pula si perempuan di sampingnya yang membelaku lantaran menganggap aku sebagai kakak? Aku bahkan tak mengenal dia. Kapan aku memberi perhatian kepada dia? Ah, pengarang ulung.

Aku membayangkan di gedung ini mulut-mulut membicarakan aku dengan asyik, seakan teater yang disuguhkan sekarang adalah gosip yang mempertontonkan keburukanku. Ada yang suka dan ada yang tak suka. Biar! Mereka tak kenal aku.

Apalagi dua pasangan itu, yang laki-laki cari kesempatan di dalam gelap untum dekat-dekat. Yang perempuan, seneng-seneng saja seperti tak terjerat. Goblok!

Mereka membicarakan kekosongan. Tak ada yang benar-benar perlu mereka bicarakan, sungguh.

Si lelaki, tak lebih adalah mahasiswa semester 3 yang tak tahu dunia kampus. Terlebih aku. Seperti ibu-ibu pecandu rumpi. Yang mendengar berita kecil langsung seperi api tersulut bensin. Bum! Mantap sekali mengumpatku untuk sekadar basa-basi dan ambil hati. Matilah kau, kalau hati si perempuan aku habisi.

Dan dia, si perempuan itu. Enak-enak saja mendengar meski menganggap aku sebagai kakak. Mengungkap argumen yang entah dia kuasai betul atau tidak karena nyatanya, aku tak pernah sebaik itu. Dia pun sama. Mendengar sedikit, tapi bicara banyak. 

Gila mereka kalau jadi sepasang dara. Lah! Biar! Umpat aku sepuas yang kalian suka lalu jadilah sepasang kekasih. Maka kalian akan menjadi pasangan yang seakan hidup di neraka. Mampus!


Sebelumnya #Kelas Menulis 5: https://rahmymadina.blogspot.co.id/2017/05/kelas-menulis-5-tips-menulis-cerita.html

Selanjutnya #Kelas Menulis 7: https://rahmymadina.blogspot.co.id/2017/05/kelas-menulis-7-menulis-itu-rangkaian.html

No comments:

Post a Comment