Bukan lantas cobaan ketika kau berpulang dalam keadaan aku tengah mencoba sekali lagi meniti diri lewat kata-kata.
Dan berharap, suatu hari nanti ketika ini berhasil, aku ingin menyuguhkan bukti atas keyakinanmu, bahwa kita bisa.
Orang yang pertama kali mengajarkan aku hakikat meramu cerita.
Yang meminta aku untuk peka. Mengeja ayat Tuhan yang tergelar pada alam semesta.
Mulai saat itu aku percaya, semesta punya cerita, dan menyimpan kata cinta di antara kita.
Ya, cinta. Aku mencintaimu sebagaimana harusnya. Lantas kenapa?
Maka ini bukan ujian, bukan pula cobaan. Rindu yang tiada pernah lunas terbayar pertemuan ini masih tetap kujaga sebagai rindu yang sebenarnya.
Yang akan kulabuhkan ketika kita kembali bertegur sapa.
Lewatmu aku percaya selama ini aku pun karyaku sanggup melewati hari demi hari, tahun demi tahun dengan harapan kau akan membaca kami di pertemuan yang kausendiri telah sepakati.
Sekarang kautiada. Lantas apa?
Aku harus bagaimana?
Masihkah harus kutanam harapan demi harapan akan perjumpaan kita, yang selama ini menjadi heroin tiap kali aku merangkai kata? Bagaimana bisa?!
Sementara lewat kamu, dan aku inginkan terlabuh pada kamu juga semua yang aku cipta.
Aku ingin sekali saja kau menikmatinya. Sekali saja.
Tapi kau sudah tiada. Lalu aku harus bagaimana?
Sementara tiap aksaramu masih menancap kuat merupa semangat pada diriku.
Aku fana, dan kau telah abadi.
Bagaimana bisa aku tetap terpaku sementara tiap kali mengolah kata, kau yang aku ingat?
Ajarkan padaku saja, bagaimana caraku menghujam perih, memeras habis ingatanku akan kau, menyegel air mata, dan meremas paksa hatiku tiap kali aku mulai menumpahkan cerita.
Ajarkan saja!
Ini adalah gores yang lahir lewat tanganku, setelah kautiada.
Pun setengah mati aku menuangkannya.
Tolong. Ajarkan saja!
Dear,
EH.K
No comments:
Post a Comment