Showing posts with label Taman Baca. Show all posts
Showing posts with label Taman Baca. Show all posts

Thursday, August 2, 2018

Tangisan Pertama


Tangisan Pertama adalah cerita yang untuk kali pertama mendapatkan kehormatan diilustrasikan oleh EF.Lazurdo, terima kasih untuk proses kreatif yang semoga bermanfaat-
Selamat Membaca
Aku tidak pernah mau peduli apa yang orang katakan tentang keluargaku. Keluargaku sempurna apapun anggapan mereka. Aku tetap merasa lengkap, tiada terkurang. Ibu bahkan tak pernah merasa digunjing, meski setiap kali dia berjalan melewati warung sembako di persimpangan jalan, ibu-ibu yang seperti kerumunan lalat itu tak pernah melepaskan pandangan hina dari dia. Kasak-kusuk tak hanya satu atau dua hari berlanjut, tapi seperti diidapkan kepada kami layaknya koreng yang tiada bisa disembuhkan seumur hidup. Kami memilih diam dan berusaha menutup borok yang dibuat oleh suami Ibu sendiri, bapakku!

Wednesday, August 1, 2018

Bu,



Cerpen karya Rahmy Madina
Ilustrasi EF Lazuardo

Langkah kaki pemuda itu terseret-seret. Menimbulkan bunyi srak-srek malas. Kalau ada orang yang benar-benar memperhatikan, rasanya ingin membawa dia kembali ke kasur. Sudut mata panda itu merah, kentara semalam tak bisa terlelap. Kebutuhan memaksa Den harus memangkas waktu istirahat. Kalau tidak begitu, dia pasti sudah menggali kubur dia sendiri karena harus mati tergilas lapar.

Tuesday, July 31, 2018

Kaki Tangan Malaikat Maut



Ilustrasi : EF. Lazuardo
Cerpen Rahmy Madina


            Hujan telah megantarkan kemarahan Ayah lantaran lelaki itu tahu, aku bermain di tanah lapang itu, lagi, lagi, dan lagi. Aku tahu, seluruh orang di kota ini tahu, tanah tak bersalah itu telah berubah keramat, dan tidak ada satu orang saja yang berani menjamah mereka selaiknya tanah lapang biasa. Bukan entah kenapa, bukan tak tahu mengapa. Kami semua sama-sama tahu, kaki tangan malaikat maut, secara sah—meski rapat paripurna tidak pernah tergelar, menetap di sana. Belum ada yang berani melawan, lantaran jelas alasannya, siapa pula orang yang siap menjemput ajal?

Sunday, July 29, 2018

Kain Batik Ibu



Terakhir kali Ibu bicara panjang adalah malam setelah Bapak dimakamkan. Aku duduk di samping Ibu yang tengah melipat kain batik panjang, kain yang baru dia keluarkan dari lemari.

Friday, April 6, 2018

Tinggal (FiksiMini)


Tinggal
6.4.18

Lelaki itu tidak memetik gitar, tidak berpenampilan nyentrik, tidak pula tengah membaca puisi.
Tapi memesona.
Menatapku seolah aku adalah kalimat terakhir dari sebuah buku yang dia suka.
Lalu usai menemukan kalimat itu, dia menangis sambil sedikit berjingkat dan berkata, "sudah kuduga."

Saturday, March 24, 2018

Cintai Aku, Ning

Kita duduk bersua lewat secangkir teh yang kepul dan harum.
Matamu membidik serupa cakar mencengkeram mangsa.
Padahal hanya aku satu-satunya yang menatapmu.

Wednesday, January 24, 2018

ASRAMA SERIGALA

Cerpen Rahmy Madina (Suara Merdeka, 21 Januari 2018)
Asrama Serigala ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka

Derap kaki dan lolongan serigala yang kudengar, meski bukan saat purnama, membuatku agak memercayai dongeng yang beredar di kampung. Selama ini aku tidak pernah merisaukan kebenaran dongeng. Selain sebagai pengantar tidur anak-anak, dongeng ada hanya untuk mengenang cerita tentang sebuah peristiwa di suatu tempat.

Saturday, October 28, 2017

Percakapan Dua Perempuan

Fiksimini

Satu satunya hal yang aku ingat adalah ketika kau pinta aku jadi milikmu dan aku menjawa, ya.

Ada genang di kedua bola mata dua wanita. Yang duduk saling berhadapan dan memiliki keingan sama, harapan sama, impian sama, cinta yang sama.

Kali ini keduanya tidak menyiratkan benci tapi justru duduk berdiskusi. Yang satu tangannya selalu mengusap perut yang membuncit, mencoba menenangkan kehidupan di balik tiga lapis daging itu. Juga ingin menunjukkan bahwa dia lebih berhak atas lelaki mereka. Yang lain tak berkedip, menatap cincin pada jemarin yang masih terus bergerak di atas perut.


"Aku seperti meminjamkan rahim untuk spermanya. Andai saja bisa aku kembalikan. Akan aku lakukan sekarang."
"Tinggallah dulu dia​ rumahku. Selain pada rahimu, di juga butuh rumah yang lain."
"Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Karena pada tiap lekuk tubuhmu aku selalu terbayang malam itu. Juga deru napas yang memburu."

Perempun tak bercincin itu menghela napas sesak. Harusnya itu yang dia katakan lantaran si lawan bicara justru menyunggi bukti pada dirinya. Dia bawa ke mana jua. Memperlihatkan keberpihakan bahwa yang harus mengalah adalah, dia. Si perempuan tanpa cincin. Hanya karena perutnya tidak membuncit.

"Sialan kau! Berapa wanita yang kaujadikan penitipan benih. Kau kira perut kami sekolah bagi anak-anakmu?!"
"Biar aku jelaskan."
"Perihal apa? Prosedur bagaimana kaujadikan kami mesin pencipta bayi!"
"Kamu tidak hamil, Sayang."
"Dan itu sebabnya aku harus mengalah?"
"Aku bisa meninggalkannya."
"Dan anakmu?!"
"Tetap jadi anakku."
"Iblis! Rahim kami bukan tabung sperma!"
"Aku mencintaimu."
------

"Setelah bayi ini lahir, aku akan meninggalkan dia!"
Perempuan tak bercincin itu menghela napas. Kenyataannya, nasib pahit bukan hanya milik mereka berdua. Tapi juga pada kebencian yang menghuni perut wanita di hadapannya.
"Jangan. Aku bukan ibu dari anak kalian."
"Lalu bagaimana?"
"Kita bedua akan sama-sama bertahan!"
"Apa?!"

Saturday, September 30, 2017

Soto Sumur

Naskah ini telah saya ikut sertakan dalam lomba Sastra dan Seni FIB UGM 2017

            Tardi enggan untuk sekadar duduk di depan warung yang seolah berubah sekejap menjadi seperti rumah makan. Walau dalam hati dia ikut mengucap syukur, pelanggan Soto Sumur tidak sama enggan dengan dia, untuk naik ke lantai dua. Warung itu masih tetap ramai orang-orang necis, seperti biasa. Sudah delapan bulan, hampir seperti usia kandungan, Soto Sumur tutup dari kios di pasar —pindah ke depan rumah Udin, pemilik warung. Untung tidak sampai gulung tikar.

Wednesday, August 2, 2017

Perempuan Itu (Suara Merdeka - 30 Juli 2017)

Cerpen karya Rahmy Madina Suara Merdeka 30Juli 2017


TANAH perkuburan itu masih basah dan gembur. Jejak langkah para peziarah bahkan belum sampai tersapu, dan kemuning yang tertancap ragu-ragu rubuh. Di bawah mereka ada jazad yang baru semayam, beberapa waktu lalu berpulang. 

Hening masih tetap hening. Tiada terjerat isak, tiada terbelenggu duka nestapa. Sementara Buyung lelap dalam dekap. Belum melepaskan puting yang sejak tadi dia isap. Itulah yang menjadi senjata bagi Hening untuk tidak ikut mengantar sampai dekat pusara. Pada detik ini, kesetiaan dia akhirnya teragukan. Betapa tidak? Selama ini tak ada yang percaya perempuan itu benar-benar menaruh cinta. Mereka menganggap segala macam tindakan dia dusta belaka.

Sunday, July 30, 2017

Diam


Dinding dan kenang
Yang sama-sama mengkristal terdiam

Monday, July 24, 2017

Diandra - Kita Mulai dari Awal


12 Februari 2014

Matahari seolah tak menyisakan dingin. Terbabat habis sisakan kering. Tapi aku tetap memesan kopi, panas. Sama seperti matahari siang ini, aku tak ingin sedikit saja kedinginan. Panas biar bertambah panas. Bening cukup tidak tahu diri untuk ikut ke rumah sakit guna riset data. Ini kepentinganku. Dan sejak aku seumur kencur, tak pernah ada satu orang pun yang ikut! Aku selalu seorang diri, kecuali benar aku yang meminta.

“Cuma rumah sakit, dan kamu nggak ngebolehin aku ikut?! Keterlaluan! Aku pacarmu, Diandra.”

“Pacar, bukan bodyguard. Bedakan!”

Friday, July 14, 2017

Biru



2 Februari 2016

Langit masih gemeluduk. Jogja tak menyisakan kering sedikit saja. Rata basah dan dingin. Jalanan depan penginapan sepi, tak ada lalu lalang. Paling satu kali tukang siomay hokie atau orang berpayung sambil menenteng bungkusan. Lapar memang, tapi tak masalah. Ada persediaan roti, keju, dan saus pasta di dalam kulkas. Selama Biru di sini, mau hujan selama apapun, aku tenang.

"Kenapa aku tidak bertemu kamu saja langsung. Kenapa harus lewat Bening."

Thursday, July 13, 2017

Mengantarkan Jawaban


Diandra, Biru, dan Bening akan kami suguhkan dalam bentuk potongan-potongan kisah (seperti cerpen) tapi bersambung. Semoga bisa diterima sebagai karya. Selamat membaca. 


12, Januari 2014


Aku tahu siapa orang yang melempar penghapus ke arahku dan senyumku lantas mengembang. Masih berlanjut, rupanya.

Ini hujan yang entah keberapa di bulan Januari. Menyisakan lembap dan sedikit kenangan hangat. Bening mengernyit, menghampiriku sambil menyodorkan deret pertanyaan yang sungguh, tidak aku suka. Sudah seminggu ini dia getol sekali memintaku menjadi kekasihnya sementara hatiku, hambar.

Perjalanan Impian (penggalan-penggalan cerita)


Diandra, Biru, dan Bening adalah tokoh yang aku ciptakan entah sejak kapan. Lama sekali mereka nangkring dan aku serasa mengenal betul mereka. Beberapa komentar dan pertanyaan kerap nangkring dan mendarat di kotak pesan, siapa mereka? Kisahku kah? Bukan. Kali pertama menciptakan mereka sebenarnya iseng saja. Kok lantas mewujud pada ceritaku sendiri sampai akhirnya aku bertemu dengan Biru, sungguh ini bukan aku sengaja

Akhirnya terpikirkan untuk membuat penggalan-penggalan kisah mereka yang sudah terangkai dalam otakku. Membawa kalian ke cerita mereka bertiga yang apa adanya dan ini, fiksi belaka. πŸ˜„

Selamat membaca ❤


-------------------------------
Bagian pertama
Perjalanan Impian
(Memulai segala tentangmu, Biru)


Pagi tak pernah menyisakan cerita yang sama. Bukankah setiap malam kita selalu bicara dan hampir tak pernah lupa menangis?

Ini hari ke 700 aku dan Bening berpisah. Dua tahun mestinya sudah mengubur segala rasa. Tapi ucapan selamat pagi masih tergantung di bibirnya bersama dengan pengharapan akan rasa yang berbalas. Sudah kujelaskan, rasa itu tuntas kubayar perpisahan. Ternyata meninggalkan selega ini. Untuk seseorang yang keberadaannya begitu mengganggu, membuat otak rasanya menimbun argumen kasar yang berjubal, dan mesti terungkap. Ternyata pergi selega ini. 

Dua tahun mestinya waktu yang pas untuk menyelesaikan semua. Bening bukan laki-laki yang baik, untuk aku. Aku menyudahinya, dan ini hariku.

Semua berawal dari perjalanan pertamaku di Solo dan mirrorless yang tergantung pada leherku yang telanjang.

“Solo itu eksotis, kamu harus Cobain pakai kain batik harga emperan.”
Aku terdecak. “Aku baru putus.”
“Bagus!” 
Tepat, itu jawaban yang paling aku inginkan. Tak ada ucapan maaf menggelantung tak benar-benar terucapkan atau wajah melow yang sebenernya, ah nggak perlu.
“Jadi?”
“Jadi, Diandra. Aku ingin mengajarkan kamu cara paling tepat mengeja kata bebas.”

Aku terkekeh dan menepuk lengan Biru sambil sekuat tenaga menyisakan bahagia yang masih saja melingkar-lingkar di dada. Pertemuan ini adalah rencana yang sudah aku impi-impikan.

Friday, June 9, 2017

Di Balik Dahan Kering (Untuk Kak Stella) ^^


Di Balik Gundukan Dahan Kering
Cerpen Rahmy Madina


Ada yang berbeda terjadi dalam hidup dia, setelah lembaran putih itu Ibu terima dari Dokter Heri. Segala macam sistem hidup, rotasi dan revolusi dunia dalam diri gadis kecil ini berubah. Semua mata seolah memandang dia adalah satu-satunya orang paling aneh yang berdiri di bumi. Seolah! Tapi kata seolah itu menjalar begitu cepat dan menguasai semua imajinasi yang rapi terbangun di alam bawah sadar gadis itu. Maka tiap kali berjalan, dia akan sigap menangkap semua mata yang lagi-lagi, seolah hanya memandang kepada dia. Tidak ada satu pun orang yang bisa mengerti. Dunia ini penuh dengan mata yang menghakimi dia, atau segala macam rasa nyeri yang selalu dia tanggung. 

Wednesday, May 31, 2017

Untuk Kamu (Yang semalam enggan terpejam)


Dari sekian banyak doa yang terapal oleh kita.
Semoga ada satu dari doa kita yang bertemu.
Menembus dan bertempur dengan takdir di atas langit.
Sekali ini aku ingin tengelam dalam lautan doamu.

Monday, May 29, 2017

That Doll (Cerbung Part #5)



Lizzi… help… help me… Lizzi…
Are you okay?” Mom menatap Lizzi lekat-lekat. Sejak Mom membantu dia mengenakan baju, pandangan mata gadis itu kosong. Kadang, secara tiba-tiba dia tersentak, seakan mendengar sesuatu.

Saturday, May 27, 2017

Puisi Cinta Ini


Puisi ini tercipta karena cinta.
Yang pada setiap dinding tersemat rindu.
Entah hanya rinduku atau juga rindumu.
Yang membeku, tak tahu kapan bertemu.

Friday, May 26, 2017

That Doll (Cerbung Part #4)


"Take me with you and I'll be your best friend, forever!"


          Lizzi terbangun dalam keadaan tubuh basah keringat. Tanpa perlu menyeka mata, pandangan dia sudah mengawasi ke segala arah. Mencari-cari sosok Grandpa bertongkat dan kedua bocah yang tidak dia kenal. Ada yang aneh dengan dia. Ada yang aneh dengan boneka yang dia temukan. Dan bagaimana pula caranya dia bisa tidur di loteng? Siapa yang memindahkan? Ginni? Gadis itu. Mimpi semalam terasa nyata dalam ingatan Lizzi.