Cerpen Rahmy Madina (Suara Merdeka, 21 Januari 2018)
Derap kaki dan lolongan serigala yang kudengar, meski bukan saat purnama, membuatku agak memercayai dongeng yang beredar di kampung. Selama ini aku tidak pernah merisaukan kebenaran dongeng. Selain sebagai pengantar tidur anak-anak, dongeng ada hanya untuk mengenang cerita tentang sebuah peristiwa di suatu tempat.
Namun setelah malam itu, lambatlaun aku mengulang pertanyaan-pertanyaan konyolku. Jangan-jangan, tempat ini benar berserigala?
Suami-istri berusia lebih dari setengah abad itu seperti tak meyakinkan jika memelihara bahkan sekadar bayi serigala. Apalagi yang sudah bisa melolong panjang. Mereka sudah cukup mengerti jawaban dasar atas pertanyaan: apa makanan serigala?
Apalagi kos ini seolah potongan surga. Kalian tidak akan berpikir dua kali saat melihat tempat seindah ini, meski harga yang mereka tawarkan tidak murah. Delapan ratus ribu per bulan. Itu pun belum termasuk uang listrik. Namun untuk tempat yang memiliki ketenangan berlapis-lapis, suara gemericik air sungai dan air terjun buatan, dedaunan yang elok, pekarangan luas yang hampir tak pernah kotor karena sang pemilik rajin betul membersihkan, percayalah, kalian tak akan sanggup menolak.
Aku menepis bisik-bisik sekitar yang seolah berusaha meyakinkan di dalamnya tinggal serigala! Karena itulah, mereka menamai kos ini sebagai asrama serigala.
“Sebaiknya jangan! Kami sering mendengar serigala itu melolong. Hampir setiap malam, lepas tanggal 15. Kalau kamu ingin selamat, cari tempat lain. Rumah itu jebakan! Tempat itu tak lain asrama serigala!”
“Benar, telinga kami saksinya! Kalau sekadar kos bagus, kami tahu tempat lain yang jauh lebih murah ketimbang asrama serigala.”
Sekali lagi, aku tidak mudah percaya apa pun kata mereka. Dan aku memutuskan tetap tinggal di tempat ini.
Kamarku paling strategis; di tengah-tengah, seperti kue ulang tahun. Pun katanya, kamar paling istimewa. Ada jendela di setiap sisi dinding, yang bisa membuatku mudah melihat semua sisi asrama. Semua bangunan berada di balik gerbang tinggi. Delapan kamar berdiri laiknya rumah petak, terpisah satu sama lain. Membuat kami, para penghuni, jarang saling sapa.
Namun aku kenal orang yang menempati kamar di sebelah kanan kamarku. Rere. Dia keturunan Padang yang bekerja sebagai dosen luar biasa. Kami sering bertukar sapa. Dia orang pertama yang membuat aku percaya, tempat ini asrama serigala.
Berawal dari malam yang panjang. Aku melihat gumpalan bulu yang tinggi dan bertaring mengetuk pintu kamar Rere dengan sedikit erangan. Aku mengintip dari balik tirai jendela sambil bergidik ketakutan. Keringat dingin mengucur dan membasahi kausku yang tipis. Sekuat tenaga aku membungkam mulut agar tidak sedikit pun bersuara.
Namun seolah kenal, Rere menatap mata kuning menyala itu sambil tersenyum sinis. Serigala itu berbisik ke telinga Rere dan berakhir dengan lolongan. Sekuat tenaga Rere menolak dan melawan serigala itu! Gila!
Aku makin ketakutan. Nahas, keesokan hari, aku justru melihat Rere berubah menjadi serigala! Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi berani menyapa.
***
Aku melihat dengan mata kepala sendiri mereka berubah menjadi serigala. Mengherankan, ibu dan bapak kos tak pernah terlihat di luar selama serigala-serigala itu berkeliaran. Aku curiga, jangan-jangan mereka menjadikan kami tumbal bagi para serigala. Mereka hilir-mudik, ke sana kemari dengan tatapan tajam dan moncong panjang.
Aku ketakutan. Aku masih menunggu hingga sekarang, akankah serigala itu mengetuk pintuku juga? Kalau iya, aku siap menghadapi mereka dengan alat-alat dan perkakas dapur seadanya.
Aku harus bertahan paling tidak sampai menemukan tempat baru. Untung, ini Sabtu! Hidup bersama kawanan serigala adalah mimpi buruk. Orang yang belum terinfeksi selain aku adalah Mbak Mira yang tinggal di kamar paling belakang. Dia mahasiswa jurusan seni, sekampus denganku.
Aku masih bisa menggapai kamarnya dari jendela samping kiri. Kami harus secepatnya menyelamatkan diri. Bau anyir darah dan lolongan masih terus terdengar, meski bukan purnama.
“Mbak Mira?” Aku lirih memanggil dia, yang sebenarnya belum kukenal. Sudah hampir dua hari ini aku tak melihat dia keluar kamar. Sama seperti aku. “Mbak! Mbak Mira.”
Gorden itu akhirnya terbuka. Mbak Mira menunjukkan mata waswas. Ternyata dia juga ketakutan. Aku masih punya persediaan makanan, beras, telur, sayur, dan roti. Entah Mbak Mira. Aku khawatir dia menderita di dalam kamarnya. Kami masih mengintai, takut tatap kami terbalas tatap mata kuning milik serigala-serigala itu.
“Mbak, kita harus keluar.”
Mbak Mira mengangguk.
“Mau pindah ke mana kamu?”
“Belum tahu. Mbak?”
Mbak Mira memastikan keadaan, kemudian balas menatapku.
“Tadi malam Rere memintaku pergi lewat telepon. Dia sudah lebih dulu pergi.”
“Mbak Rere pergi? Bukankah dia?”
“Kamu tenang saja. Dia baik-baik saja dan bisa menjaga diri. Aku dengar ada kos yang nyaman. Masih ada tiga kamar kosong. Rere yang mencarikan. Kamu mau pindah?”
Aku mengangguk. Sudah jelas aku mau. Aku tidak akan membiarkan diri jadi santapan mereka.
“Kapan?”
“Lusa. Serigala-serigala itu akan pergi ke atas bukit. Entah melaksanakan ritual apa. Kita bisa memanfaatkan saat itu untuk pergi dari sini.”
“Yang lain?”
“Biarkan. Mereka memilih bertahan. Kemasi barang-barangmu! Kamu sudah makan?”
Sekali lagi aku mengangguk. “Sudah.”
“Baiklah. Semoga selamat.”
Kalimat terakhir itu kuterka sebagai doa dan permohonan bagi Mbak Mira sendiri. Tentu saja kami berharap selamat. Besok, semua barang sudah harus terkemas rapi. Untung, tak ada satu kardus pun aku buang. Seharusnya aku lebih percaya dan mendengar mereka yang sudah tinggal lama di kampung ini. Tempat ini tak lebih dari asrama serigala.
***
Sore, ketika langit mendung dan Mbak Mira memintaku lebih berhatihati, ada yang mengetuk pintu kamarku. Tadi pagi aku sudah melihat bapak dan ibu kos membersihkan pekarangan dari daun-daun kering yang jatuh atau tahi burung yang mendarat di tempat jemuran.
Aku memperhatikan mereka dari balik tirai jendela. Mereka sama sekali tidak curiga atau ketakutan. Diamdiam aku menjadikan mereka sebagai umpan. Kalau sampai mereka termakan, artinya serigala itu masih berkeliaran. Nyatanya tidak. Barangkali mereka tahu kapan serigala- serigala itu datang dan pergi. Licik sekali!
Aku bergidik ngeri sambil memperhatikan pintu yang terketuk. Pasalnya, serigala itu mahir mengetuk pintu. Aku tak mau jadi santapan mereka, sementara aku dan Mbak Mira bahkan sudah siap pergi. Sambil tetap waspada dan dengan tangan kanan memegang sapu, aku menghampiri pintu dan membuka perlahan. Aku agak terkesiap dan terloncat ke belakang. Perempuan itu berdiri sambil menyungging senyuman menakutkan!
“Ya ampun, Ibu! Saya kira serigala yang datang,” ucapku lega. Tak sengaja aku menangkap tatapan para penghuni kos, yang kutahu sudah berubah menjadi serigala.
Ibu kosku terkekeh sambil menatapku keheranan. “Mana ada serigala, Neng. Tempat ini aman.”
Aku justru lebih heran. Bagaimana bisa dia tak mendengar lolongan? Tulikah perempuan ini? Namun aku tidak pernah harus setengah berteriak saat berbicara dengan dia. Dia mendengarku! Aku masih memperhatikan dia yang belum melepaskan tatapan dariku, kemudian mendekat dan berbisik lirih, “Serahkan jiwamu padaku, kau akan selamat.”
Aku tangkas mendorong dia menjauh dan berniat menutup pintu kamar. Namun tiba-tiba saja mulut ibu kos berubah menjadi moncong panjang yang siap mengerkah. Ya, Tuhan! Rupanya dia wanita serigala! Aku menangkis serangan pertama dan bersiap melindungi diri dari gigitannya. Rupanya ini yang dia minta dari Rere! Pantas Rere tidak memberikan.
Sore itu, aku berkelahi dengan hebat melawan serigala. Gigitan kubalas gigitan, cakaran kubalas cakaran! Kudorong dia sekuat tenaga sampai tersungkur dan berlari masuk ke dalam rumah! Napasku tersengal.
Begitu aku menoleh, Mbak Mira langsung menutup jendela. Tidak ada yang terjadi. Aku tetap sebagai aku. Aku tidak berubah!
Malam itu aku tertidur dalam keadaan luka. Setiap saat aku mengerang kesakitan. Serigala itu pasti sudah ketakutan. Pintu rumahnya tidak sekali saja terbuka. Bagaimanapun aku tak mungkin memberikan jiwaku. Kalau sampai dia meminta sekali lagi, aku akan bertarung sampai dia mati!
Keesokan hari, aku merasa lebih sehat. Perih dan bau anyir darah itu menghilang. Aku mengerjap beberapa kali, menatap lantai kamar sambil bergumam, “Cuma mimpi.”
Serigala itu tak nyata. Terbukti, aku sudah tak berluka. Masih sambil tiduran aku mengamati kedua tanganku. Ya, Tuhan! Bulu lebat tumbuh di seluruh tangan, kaki, dan tubuhku, menggantikan luka-luka itu.
Pagi itu aku terbangun sebagai serigala. Mataku kuning menyala, persis mata mereka! Aku kalang-kabut, tak tahu harus berbuat apa. Mataku nanar menatap cakar yang tumbuh di kedua tangan dan kakiku. Namun ketika aku menangis, yang keluar hanya lolongan. Astaga! Satu-satunya lolongan yang aku dengar justru dari moncongku! (44)
–Rahmy Madina, alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang, kini bekerja dan bermomisili di Jakarta
No comments:
Post a Comment