Saturday, October 28, 2017

Kau!

Fiksimini :

Malam itu bulan nyaris tak terlihat tapi Segara mampu menangkap lengkung tipis yang seolah berpendar di dalam matanya.

Dia tahu, bulan pun ada di pihaknya.


Entah sudah berapa kali asap itu membumbung, menyampaikan kepada semesta, sebuah cerita akan kau! Yang merobek paksa hati Segara dengan semua tuduhan tak berdasar.
Segara tahu, kau tak pernah mengerti cara menyembuhkan sakit hingga kepada dia justru kaumuntahkan sumpah serapah.

"Benamkan lukamu, Segara!"

Segara menoleh tapi tidak benar-benar mau menatap ayah. Api masih berkobar di dekat kakinya. Menghapus segala macam tulisan yang kaubuat. Sumpah mati, Segara tak mau membaca tulisan-tulisan itu. Tulisan berisi makian.
Untaian kata-kata sadis yang tersulam dengan tinta darah.

Kertas yang menjadi saksi kebencianmu kepadanya, karena dia benar! Sejak saat kebohonganmu dia saksikan, kau justru membenci gadis tak berdosa itu. Menjadikan dia sebagai tumbal, bidik yang tak pernah kau rencanakan. Biadab!

"Pada siapa?"
"Bukan pada siapa, pada apa!"
"Aku baru tahu kalau dia rupanya benda. Pantas, tak berhati."
"Segara!"
"Ayah!" Segara menatap Ayah lekat. Ada benci bersarang di sana. Pada laki-laki yang lebih mempercayai kau untuk menggenggap erat kepercayaannya, raganya, cintanya. "Satu-satunya perempuan yang berhak membunuhku adalah, Ibu! Bukan perempuan sundal yang hanya bisa beranak lewat rasa benci itu! Ayah merasa beruntung bukan karena dia sundal? Dan hanya bisa melahirkan kata-kata? Perempuan itu membunuhku berulang kali lewat aksara!"

"Lupakan kalimatnya. Jangan kauambil hati! Lagi pula ibumu sudah lama pergi!"
"Itu sebabnya ayah mesti sadar. Di bumi ini tidak ada lagi yang boleh membunuhku. Pembunuh yang paling berhak akan aku, sudah mati!"
"Segara tolong. Ayah mencintai wanita yang kauterka sedang membunuhmu. Dia tidak sejahat itu."
"Dengan membuatmu berhasil menghapus cinta kepada ibu, terlebih kepadaku, kau bilang dia baik?!"
"Nak, Ayah tidak pernah barang sekali mengajarimu rasa benci. Belajar dari mana kau mengolah rasa itu?"
"Dari dia! Yang kini anaknya hangus di dekat telapak kakiku, tapi hunusan pisaunya masih menancap kuat pada tiap jengkal ragaku! Ayah, aku tidak bisa mati kecuali pada tangan ibu! Selamanya, dia tidak akan bisa menjadi ibuku. Dan ayah ada di pihak siapa? Kalau padanya, maka kita harus bertarung!"

Gadis itu menatap tajam lelaki yang berdiri pada garis tengah antara kematian anaknya atau kau!
Satu yang dia sadari malam itu, yang mengajarkan Segara mencecap benci adalah, KAU!

No comments:

Post a Comment