Akasia.
Gadis itu kerap menatih diri seolah pada bahunya duduk rasa perih atas perbuatan saudara-saudaranya, orang tuanya.
Lembah kesakitan yang menuntun kaki telanjang menyita segala detik dan detak yang kisruh. Perang saudara yang kerap membuat dia berlari turun menemui orang tua yang telah lama berpisah.
Matahari kerap bersaksi, menyimpan bayang-bayang seorang gadis dari langkahnya yang gontai.
Bukan lantaran punggungnya tak tegak, tapi kembang kempis hati yang tersumbat gumpalan caci maki. Dia hanya butuh rumah, tempat berteduh pada jantung mereka yang masih berfungsi. Sayang, otak dan hati mereka mati.
Akasia adalah bunga yang mekar di atas gurun dengan temperatur panas lebih dari tiga puluh derajat. Andai saja mati tak perlu mencecap sakit. Pun dia tahu ke mana jasadnya kelak akan bermuara. Tak masalah. Semua bukan soal raga, tapi jiwa. Adakah lelaki bernama jiwa yang siap menampungnya?
"Jangan kembali. Kau tahu kami sudah memiliki hidup kami masing-masing. Carilah seseorang yang bisa menaungi kamu. Jangan kembali!"
Mata gadis itu seolah panah yang mencari bidik, sulur pintu pengharapan pada mata ibunya.
"Tidak bisakan Ibu saja?"
"Sia. Kau tahu Ibu dan ayah sudah lama berpisah. Kalian adalah masa lalu. Kalau kau di sini, mana bisa aku melanjutkan hidup. Aku sudah bersuami."
"Tidak bisa kah kaulanjut bersamaku, Bu? Sedikit saja."
"Suamiku tak bisa."
"Tapi aku anakmu."
"Anak bapakmu juga."
"Dia tidak mau menerimaku, Bu."
Ibu terdiam. Tak ada telaga yang Akasia temukan dari lisut mata ibunya.
"Begitu juga aku."
"Ibu!"
"Akasia. Kau sudah kuberi nama bermakna cantik. Tabahlah, kuatlah seperti namamu. Jangan selemah ini. Kelima saudaramu sudah menikah."
Semoga pernikahan mereka tidak berakhir seperti pernikahan Ibu dan Bapak, agar tak perlu ada akasia yang lain. Begitu Akasia kerap merapal doa.
"Akasia, tolong jangan kembali! Kita hidup untuk bertarung. Bukan saling mengemis belas kasih."
Akasia berdiri di atas kakinya yang tetap telanjang. Matanya berkilat, hatinya terkerat.
"Kalau seperti ini, mestinya tak perlu kau pinjamkan rahimmu untukku! Masihkah pantas kau kupanggil, Ibu?!"
No comments:
Post a Comment