Saturday, October 28, 2017

Percakapan Dua Perempuan

Fiksimini

Satu satunya hal yang aku ingat adalah ketika kau pinta aku jadi milikmu dan aku menjawa, ya.

Ada genang di kedua bola mata dua wanita. Yang duduk saling berhadapan dan memiliki keingan sama, harapan sama, impian sama, cinta yang sama.

Kali ini keduanya tidak menyiratkan benci tapi justru duduk berdiskusi. Yang satu tangannya selalu mengusap perut yang membuncit, mencoba menenangkan kehidupan di balik tiga lapis daging itu. Juga ingin menunjukkan bahwa dia lebih berhak atas lelaki mereka. Yang lain tak berkedip, menatap cincin pada jemarin yang masih terus bergerak di atas perut.


"Aku seperti meminjamkan rahim untuk spermanya. Andai saja bisa aku kembalikan. Akan aku lakukan sekarang."
"Tinggallah dulu dia​ rumahku. Selain pada rahimu, di juga butuh rumah yang lain."
"Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Karena pada tiap lekuk tubuhmu aku selalu terbayang malam itu. Juga deru napas yang memburu."

Perempun tak bercincin itu menghela napas sesak. Harusnya itu yang dia katakan lantaran si lawan bicara justru menyunggi bukti pada dirinya. Dia bawa ke mana jua. Memperlihatkan keberpihakan bahwa yang harus mengalah adalah, dia. Si perempuan tanpa cincin. Hanya karena perutnya tidak membuncit.

"Sialan kau! Berapa wanita yang kaujadikan penitipan benih. Kau kira perut kami sekolah bagi anak-anakmu?!"
"Biar aku jelaskan."
"Perihal apa? Prosedur bagaimana kaujadikan kami mesin pencipta bayi!"
"Kamu tidak hamil, Sayang."
"Dan itu sebabnya aku harus mengalah?"
"Aku bisa meninggalkannya."
"Dan anakmu?!"
"Tetap jadi anakku."
"Iblis! Rahim kami bukan tabung sperma!"
"Aku mencintaimu."
------

"Setelah bayi ini lahir, aku akan meninggalkan dia!"
Perempuan tak bercincin itu menghela napas. Kenyataannya, nasib pahit bukan hanya milik mereka berdua. Tapi juga pada kebencian yang menghuni perut wanita di hadapannya.
"Jangan. Aku bukan ibu dari anak kalian."
"Lalu bagaimana?"
"Kita bedua akan sama-sama bertahan!"
"Apa?!"

No comments:

Post a Comment