Wednesday, October 4, 2017

Nostalgia



Bukankah kita menjalani hari ini untuk bertemu hari esok? Bukankah kita menjalani hari esok untuk menjalani hari lusa? Bukankah lusa kita lewati untuk bisa bertemu dengan hari tulat? Pun seterusnya?
Entahlah! Sepertinya bukan hanya itu karena setiap rencana tercipta dan tak bisa terselesaikan dalam 24 jam saja.


Hai semua. Perkenalkan Aku Rahmy Madina. Pemilik sah republik yang aku ciptakan sendiri di Blog ini.  hehe, udah sering nge blog tapi aneh kalau nggak kenal ya :D

Rasanya sudah lama keinginan untuk menyampaikan ini aku pendam, sampai-sampai seolah tercecer di jalanan ramai ibu kota. Sungguh, Depok penat dan tidak ada mereka yang biasanya ada.

Keputusanku untuk pindah markas rasanya, bagaimana aku harus menyebutnya, konyol karena jelas duniaku ada pada jantung hati mereka semua yang aku “tinggalkan”. Setiap malam sebelum tidur, atau ketika terjaga di lewat tengah malam (aku punya kebiasaan baru di sini, tidur pukul sembilan dan terbangun lewat tengah malam untuk kemudian tidur lagi) aku selalu Emmm menyesali keputusanku karena di sini kadang kala aku merasa begitu miskin dan sesak napas.

Sudah aku katakan sebelumnya, duniaku ada pada tiap detak jantung mereka dan di sini, aku seperti berenang di dalam kolam, bukan laut.

Depok ramai, Jakarta riuh, gedung pencakar langit di mana-mana, iya. Tapi sekali lagi duniaku ada pada jantung hati mereka, dan tidak aku temukan mereka di sini. Maka satu-satunya obat yang bisa aku cecap adalah, kenangan. Resep paling jitu yang Allah berikan berupa serpihan-serpihan adegan yang aku kristalkan pada hati dan pikiranku akan mereka.

Di sini tak ada buku!

Maka yang bisa aku baca adalah, kenangan dan keadaan.

Sebelum aku berangkat ke Depok, aku sengaja betul, menyempatkan diri tandang ke rumah beberapa dosen untuk berpamitan yang kesemuanya memiliki pertanyaan sama.

“Tapi tetap menulis, kan?”
Maka tulisan ini yang bisa aku berikan kepada mereka sebagai bukti nyata atas jawabanku.

Dulu, dulu sekali, ketika aku duduk berdua di depan rumah bersama almarhum Pak Karta, kami ngobrol banyak hal. Aku ingat, Bapak yang memanggilku keluar dan meninggalkan kami berdua agar kami bisa luwes bercerita.

Banyak yang sengaja ingat dan seolah kupahat pada otak tentang semua yang Pak Karta berikan kepada aku. Salah satunya adalah keharusan untuk terus menulis.

“Manusia di bumi ini bermacam-macam dan salah satunya adalah penulis. Kita berdua. Bacaan setiap penulis pun berbeda. Kalau sampai kamu berhenti menulis, bumi kehilangan satu orang yang mampu menyampaikan apa yang dia baca darinya. Dari bumi. Menulis adalah membaca bumi dan seisinya. Menulis dan membaca, kegiatan yang tak bisa dipisah. Maka lingkungan kamu adalah bacaan yang paling dekat. Lihat Rahmy, lihat betul-betul. Lingkungan rumah kamu ini klasik bukan main. Orang tua yang mendukung kamu dan kegiatan mereka yang jelas berbeda dengan rumah manapun. Orang yang saling berteriak memanggil, bergotongan membawa ember cucian ke sumur desa. Lima sampai tujuh tahu lagi barangkali kegiatan seperti ini sudah nggak ada, orang sudah punya sumur sendiri atau mesin cuci.”

Benar! Mereka sudah tidak mencuci di sumur kampung sekarang.

Barangkali kenangan yang aku sampaikan ini bermanfaat betul untuk para penulis atau kalian yang punya cita-cita menjadi seorang penulis. Silakan ambil kenanganku. Jadikan  sebagai kenangan kalian juga. Silakan.

Maka, ketika aku bertandang ke rumah salah satu dosen, aku seolah bernostalgia.
“Tapi nggak berhenti menulis, kan?”

“Enggak akan.” Begitu jawab saya, tegas dan mantap. Menulis adalah kegiatan yang sudah aku pilih sedari kecil dan tidak berniat saya hentikan seriuh apapun hatiku di kota ini.

Maka yang beliau sampaikan barangkali bisa juga kalian terapkan.

“Jangan takut jangan risau terus menulis. Nikmati tiap proses yang kamu jalani di sana. Termasuk huru-hara yang ada, sadari bahwa setiap kamu terbangun, semuanya adalah rezeki. Ketika kamu lapar dan tidak memiliki makanan, nikmati betul bahwa rasa lapar yang kamu tanggung adalah sebuah bentuk rahmat dari Dia terhadap kamu. Tidak semua orang bisa merasakan lapar. Nikmati betul, apa dampak dari kelaparan itu. Satu jam, dua jam, tiga jam. Kemudian suatu saat ketika kamu ingin menuliskan orang lapar, kamu bisa menuangkan rasa kamu ke dalam tulisan.”

“Maka menulis adalah menyampaikan. Tugas kenabian. Barangkali ketika orang yang tidak pernah lapar membaca tulisan kamu, tiba-tiba mereka menjadi iba dan membantu mereka yang kelaparan karena ikut merasakan pula apa yang kamu gambarkan. Mulia bukan? Itu sebabnya saya selalu berkata bahwa penulis mengemban tugas kenabian. Sampaikan, Rahmy. Sampaikan apa yang harus kamu sampaikan. Menulis adalah cara kita bersyukur kepada Allah atas apa yang ada pada kita, bakat kita, semua titipan. Kalau kamu bisa tapi tidak melakukan, itu artinya kamu tidak bersyukur kepada Allah, dan sudah menyia-nyiakan rezeki yang Allah berikan langsung kepada kamu.”

“Setiap orang kan punya kapasitas dan keilmuan masing-masing, dek. Dan semua yang ada pada kamu, tidak semua orang punya. Ataupun sebaliknya. Jadi masalah takut atau apapun, buang. Karena ada kekayaan pada diri setiap orang yang bisa diolah dengan sedemikian rupa untuk menciptakan karya masing-masing. Dalam benatu apapun. Nah, dalam hal ini kamu punya kemampuan menulis. Ya sudah, tunggu apa lagi. Ya menulis saja. Toh tidak semua orang bisa atau mau menulis. Bagus kalau kamu memiliki kemampuan dan kemauan tentu saja untuk tetap disiplin melakukan pilihan kamu.”

Apa yang aku rasakan ketika mendapat semua itu? Rahmat. Bahwa lewat mulut dosenku, tercipta semangat yang seolah tertanam kuat pada hatiku, bahwa benar aku tidak boleh berhenti menulis. Tidak lain tidak bukan adalah sebagai pertanggung jawaban atas pilihan saya, dan bentuk syukur serta ucap terima kasih saya, kepada Allah.

Masih merasa miskin, ya kadang kala. Atau kalau boleh dianalisis, perasaan macam itu sebenarnya muncul atas nama rindu. Aku merindukan semua yang ada di sana. Merindukan duniaku yang ada pada jantung hati mereka. Merindukan mereka.

Maka perasaan rindu yang entah kapan tuntas terbayar pertemuan ini pun akan aku baca, agar aku bisa menuliskan secara rinci seperti apa perasaan orang yang merindu.

Bahwa ternyata rindu bisa membuat kita yang punya, tapi merasa tak punya.

Tidak ada yang bisa aku ucap selain terima kasih, juga kepada kalian yang sedia membaca dan mengambil apa yang aku bagi. Karena dengan begitu apa yang mereka berikan kepada aku, ilmu atau pengalaman, bisa sampai juga kepada kalian yang artinya ilmu ini mengalir. Tidak pernah habis.

Salam sayangku untuk kalian semua, mari saling membaca agar dunia kita tidak terbatas pada jantung hati beberapa orang saja. Tetapi pada semua. ^^


Selamat siang.

No comments:

Post a Comment