Naskah ini telah saya ikut sertakan dalam lomba Sastra dan Seni FIB UGM 2017
Tardi
enggan untuk sekadar duduk di depan warung yang seolah berubah sekejap menjadi
seperti rumah makan. Walau dalam hati dia ikut mengucap syukur, pelanggan Soto
Sumur tidak sama enggan dengan dia, untuk naik ke lantai dua. Warung itu masih
tetap ramai orang-orang necis, seperti biasa. Sudah delapan bulan, hampir
seperti usia kandungan, Soto Sumur tutup dari kios di pasar —pindah ke depan rumah Udin, pemilik warung. Untung
tidak sampai gulung tikar.
Udin
masih muda, usianya belum sampai menginjak kepala tiga. Gesit, cekatan, supel,
dan ramah. Kepada siapa saja dia sumeh[1],
tak memandang miskin pun kaya, meski pelanggannya jarang dari kalangan biasa.
Udin bahkan sudah hafal, kalau Tardi, Bejo, Slamet, Yu Tini, Yu Tari, dan Kadir
yang masuk, dia langsung menanyakan, mau pakai gorengan tahu-tempe atau bakwan. Kepada mereka, Udin justru kerap asyik berbincang —
bercanda-canda.
Biar pun
mahal, Soto Sumur tak pernah sepi pelanggan. Selain enak, pelayanan Udin dan Yu
Sri bagus. Cekatan dan sok kenal. Benar memang, sok kenal bisa menunjukkan
karakter seseorang yang memiliki pikiran terbuka dan siap menerima banyak hal.
Sebagian besar orang, sadar pun tidak, suka komposisi dari keuntungan orang
yang sok kenal. Soto Sumur bukti nyatanya.
Mulai dari kalangan bawah sampai orang-orang berseragam suka berlama-lama di
sana. Tapi itu dulu, sebelum Soto Sumur jadi ikutan necis.
Sekarang,
jangankan untuk makan, untuk sekadar ngopi saja, Tardi dan kawan-kawan benar
merasa enggan. Ada kesenjangan yang tercipta dengan sendirinya. Aura asing yang
tak lagi nyaman. Soto Sumur tanpa sumur.
Kalau mau nostalgia, Soto Sumur dulu letaknya di samping kiri agak
ke menjorok Pasar Wangi Sari, di depan sumur timba yang luas betul halamannya.
Ada akses jalan dan tempat parkir yang lumayan nyaman untuk bisa ke sana. Kalau
dibilang dekat dengan kantor atau sekolah, tidak juga. Tapi Soto Sumur menjadi
favorit mereka. Pelanggan yang kenal soto ini biasanya dengar dari mulut ke
mulut, diajak teman kemudian ketagihan dan jadi pelanggan setia. Soto racikan
Udin memang enak. Bumbu kuah dan tauco diracik hampir sempurna. Belum lagi
ditambah remekan[2]
kerupuk usek — kerupuk kecil tiga
warna yang digoreng dengan pasir, dan sambal lombok rawit, nikmat bukan main.
Di dekat
sumur itu pula — di samping kiri warung, ada dua pohon karsem besar yang
rimbun dan berbuah banyak, manis juga. Tukang becak, kuli panggul, atau orang-orang
pasar sering kali nge-tem di bangku
panjang dan bilik di dekat situ. Bukan sekadar kongko, tapi mereka seakan
berpusat, kumpul jadi satu. Pengunjung pasar yang butuh tumpangan atau kuli
untuk mengangkut belanjaan tahu harus mencari ke mana. Sumur itu seakan menjadi
tolok, warung, bakul gorengan, wedang, sate dan gulai, ramesan, jajanan pasar
dan tukang rujak buah, ada semua di sana. Selain mudah untuk mendapatkan air
guna keperluan cuci piring dan memasak, tempatnya pun nyaman. Orang betah
berlama-lama di sana. Seperti kampung di dalam pasar, guyub rukun dan
sejahtera.
“Pijitin
punggungku sebentar, Di. Sengkleh baru
manggul beras sekintal.” Tardi sesengutan tapi tetap memijit Bejo yang duduk di
bilik sambil cengar-cengir.
“Minta balsem Yu Nah sana! Cuma dipijit ya
lama sembuhnya! Nanti sampai rumah minta Yatmi ngurut, sekalian minta jatah
yang udah sebulan nunggak.”
“Asu kamu!” umpat Bejo begitu yang lain
terkekeh. “Ya jangan buka kartu di sini juga, Di!”
Sidik
menghisap rokok sambil menahan senyum geli. Menjentikkan abu ke tanah kemudian
ikut menimpali. “Kok bisa nunggak Ko? Uang belanja kurang po? Makanya kerja
keras begini? Apa kamu jadi gampang lemes?”
“Bojoku
lagi nahan, nunggu sampek ingin banget, biar enak!”
“Alesan!”
timpal Udin dari warung soto. Tangannya masih sibuk mengupas bawang. “Mbak
Yatmi mulai nggak puas.”
“Cemet! Lah nggak usah banyak cangkem, bikinin kopi aja satu!” Bejo
cekikikan, tidak lantas marah dengan banyolan srampangan kawan-kawannya.
Tidak ada
yang benar-benar serius. Semua terjadi seperti opera, begitu saja. Baik Bejo
ataupun Tardi bisa memosisikan peran sebagai salah satu pemain yang baik. Tidak
nesunan. Hari ini katanya ada jadwal tertib pasar. Beberapa penjual meminta
bantuan kuli panggul untuk membawa dagangan mereka ke tempat aman, atau dititip-titipkan
ke kios-kios teman, daripada mengambil risiko barang diangkut garukan.
Bejo kebagian mengangkut dagangan Yu
Tari yang ada di ujung jalan, dekat pos satpam. Biasanya, Yu Tari menitpkan
dagangan di kios si adik di dalam pasar. Keluarga Yu Tari — turun temurun
menekuni profesi sebagai pedangan kelontong di pasar, adiknya yang paling kecil
malah sengaja membawa singkong dari Ndoro
sampai ke kota. Kalau di jual di sana, sudah jelas terjual murah. Itu yang
menyebabkan Bejo jadi bengkek. Harus
memanggul beras dari ujung jalan sampai ke dalam pasar.
Meski
menjadi musuh para pedagang, sebetulnya untuk kuli panggul macam mereka kedatangan
petugas razia adalah anugerah. Mereka bisa membawa uang dua kali lipat dari
penghasilan biasa. Biar begitu, Tardi dan teman-teman tidak akan meminta
bayaran untuk pedagang tua macam Mbah Murni atau Mbah Ripah, yang hanya
menjajakan buah seadanya, dan target penghasilan sedapatnya. Mana mungkin
mereka tega. Tenaga dari yang Kuasa ini diberikan cuma-cuma.
***
“Kata Pak Mantri, pasar mau direnovasi. Jadi mol.”
“Mol?” Slamet mendelik. “Yang bener kamu Din kalau
nomong. Lah aku kerja di mana? Memangnya mol butuh kuli macam kita? Tukang
becak sih enak, masih bisa beroperasi.”
“Bukan mol. Ya memang ada mol, tapi pasar ya tetap ada.
Mau ditingkat jadi lantai tiga.”
“Alamak Yu Tari! Macam mana pula peraturan kayak gitu!
Kalau disuruh manggul sampai lantai tiga, bisa-bisa bengkekku nggak sembuh-sembuh sampek cucuku lahir. Nak pulang saja
ke Madura!”
“Muliho[3] Pul!”
Ipul langsung sesungutan. “Nggak usah macam-macam. Orang kecil kayak kita bisa
apa? Razia tiap pagi saja kita tidak mampu melawan. Apalagi nanti kalau ada
teng-teng besar?” timpal Tardi sambil mengunyah gorengan tahu setengah hangat.
“Wes wes. Jangan
pada ribut! Mending ngopi dulu. Itu masih rencana akhir tahun depan.” Udin
meletakkan gorengan bakwan panas di tengah-tengah mereka sambil nimbrung duduk
di atas becak Slamet. Jadilah sebelum pulang, mereka duduk sambil cerita
panjang di teras warung Soto Sumur.
***
“Nggak ngopi Pak Tardi?”
Pak Tardi mengangkat tangan singkat sambil tersenyum
tulus. “Nanti Din, nunggu bapaknya pada pulang.” Jawabnya.
Satu
setengah tahun tidak pandang waktu, cepat sekali berlalu. Sumur dan segala
macam tetek bengeknya raib tertutup bangunan megah, tempat nongkrong anak-anak
muda. Tardi ataupun yang lain bahkan sudah kerap lupa kalau di sana tempat
mereka biasa duduk bersama. Yang mereka tahu, tempat itu sekarang sudah jadi
kafe, tempat nongkrong anak-anak muda. Tidak ada rasa iri dengki atau lainnya.
Kebutuhan mereka tak bisa ditunda, juga tidak bisa lantas membuat mereka
terbuai dengan imajinasi masa lalu. Bayang-bayang tetap bayang-bayang. Tidak
mungkin mewujud rupa.
Begitu Udin
masuk ke toko, Tardi berjongkok di depan kios pisang Yu Tini. Menunggu siapa
saja yang memanggil dan menyodorkan selembar dua ribuan, meminta bantuan
membawakan barang-barang. Tardi tidak pernah berpikir hidup itu kejam. Semua
berjalan sebagaimana harusnya, memang begini adanya. Semua harus dipikir secara
realis. Termasuk tulang-tulangnya yang tambah linu setiap malam, karena harus
naik turun tangga entah berapa kali dalam sehari.
“Kerja, Di!
Njegok wae gaweanmu[4]!”
Tardi
terkekeh dan membalang puntung rokok ke arah Bejo yang lewat sambil memikul belanjaan.
“Weh, yang
tiap hari udah diurut! Berterima kasih kamu sama tangga ini! Plus-plusnya bisa tiap hari.” Celetuknya
sambil menginjak tangga pasar yang kotor dan sedikit basah.
“Raimu!” tukas Bejo sambil berlalu, tanpa
tahu kapan lagi mereka bisa berbagi canda dalam temu.
[1] Ramah
[2] Kerupuk yang
dihancurkan dengan tangan (diremas).
[3] Pulang
sana
[4] Duduk
aja kerjaan kamu!
No comments:
Post a Comment