Saturday, September 30, 2017

Soto Sumur

Naskah ini telah saya ikut sertakan dalam lomba Sastra dan Seni FIB UGM 2017

            Tardi enggan untuk sekadar duduk di depan warung yang seolah berubah sekejap menjadi seperti rumah makan. Walau dalam hati dia ikut mengucap syukur, pelanggan Soto Sumur tidak sama enggan dengan dia, untuk naik ke lantai dua. Warung itu masih tetap ramai orang-orang necis, seperti biasa. Sudah delapan bulan, hampir seperti usia kandungan, Soto Sumur tutup dari kios di pasar —pindah ke depan rumah Udin, pemilik warung. Untung tidak sampai gulung tikar.

            Udin masih muda, usianya belum sampai menginjak kepala tiga. Gesit, cekatan, supel, dan ramah. Kepada siapa saja dia sumeh[1], tak memandang miskin pun kaya, meski pelanggannya jarang dari kalangan biasa. Udin bahkan sudah hafal, kalau Tardi, Bejo, Slamet, Yu Tini, Yu Tari, dan Kadir yang masuk, dia langsung menanyakan, mau pakai gorengan tahu-tempe atau bakwan. Kepada mereka, Udin justru kerap asyik berbincang — bercanda-canda.
Biar pun mahal, Soto Sumur tak pernah sepi pelanggan. Selain enak, pelayanan Udin dan Yu Sri bagus. Cekatan dan sok kenal. Benar memang, sok kenal bisa menunjukkan karakter seseorang yang memiliki pikiran terbuka dan siap menerima banyak hal. Sebagian besar orang, sadar pun tidak, suka komposisi dari keuntungan orang yang sok kenal. Soto Sumur bukti nyatanya. Mulai dari kalangan bawah sampai orang-orang berseragam suka berlama-lama di sana. Tapi itu dulu, sebelum Soto Sumur jadi ikutan necis.
Sekarang, jangankan untuk makan, untuk sekadar ngopi saja, Tardi dan kawan-kawan benar merasa enggan. Ada kesenjangan yang tercipta dengan sendirinya. Aura asing yang tak lagi nyaman. Soto Sumur tanpa sumur.

Kalau mau nostalgia, Soto Sumur dulu letaknya di samping kiri agak ke menjorok Pasar Wangi Sari, di depan sumur timba yang luas betul halamannya. Ada akses jalan dan tempat parkir yang lumayan nyaman untuk bisa ke sana. Kalau dibilang dekat dengan kantor atau sekolah, tidak juga. Tapi Soto Sumur menjadi favorit mereka. Pelanggan yang kenal soto ini biasanya dengar dari mulut ke mulut, diajak teman kemudian ketagihan dan jadi pelanggan setia. Soto racikan Udin memang enak. Bumbu kuah dan tauco diracik hampir sempurna. Belum lagi ditambah remekan[2] kerupuk usek — kerupuk kecil tiga warna yang digoreng dengan pasir, dan sambal lombok rawit, nikmat bukan main.
Di dekat sumur itu pula ­— di samping kiri warung, ada dua pohon karsem besar yang rimbun dan berbuah banyak, manis juga. Tukang becak, kuli panggul, atau orang-orang pasar sering kali nge-tem di bangku panjang dan bilik di dekat situ. Bukan sekadar kongko, tapi mereka seakan berpusat, kumpul jadi satu. Pengunjung pasar yang butuh tumpangan atau kuli untuk mengangkut belanjaan tahu harus mencari ke mana. Sumur itu seakan menjadi tolok, warung, bakul gorengan, wedang, sate dan gulai, ramesan, jajanan pasar dan tukang rujak buah, ada semua di sana. Selain mudah untuk mendapatkan air guna keperluan cuci piring dan memasak, tempatnya pun nyaman. Orang betah berlama-lama di sana. Seperti kampung di dalam pasar, guyub rukun dan sejahtera.
“Pijitin punggungku sebentar, Di. Sengkleh baru manggul beras sekintal.” Tardi sesengutan tapi tetap memijit Bejo yang duduk di bilik sambil cengar-cengir.
 “Minta balsem Yu Nah sana! Cuma dipijit ya lama sembuhnya! Nanti sampai rumah minta Yatmi ngurut, sekalian minta jatah yang udah sebulan nunggak.”
Asu kamu!” umpat Bejo begitu yang lain terkekeh. “Ya jangan buka kartu di sini juga, Di!”
Sidik menghisap rokok sambil menahan senyum geli. Menjentikkan abu ke tanah kemudian ikut menimpali. “Kok bisa nunggak Ko? Uang belanja kurang po? Makanya kerja keras begini? Apa kamu jadi gampang lemes?”
“Bojoku lagi nahan, nunggu sampek ingin banget, biar enak!”
“Alesan!” timpal Udin dari warung soto. Tangannya masih sibuk mengupas bawang. “Mbak Yatmi mulai nggak puas.”
Cemet! Lah nggak usah banyak cangkem, bikinin kopi aja satu!” Bejo cekikikan, tidak lantas marah dengan banyolan srampangan kawan-kawannya.
Tidak ada yang benar-benar serius. Semua terjadi seperti opera, begitu saja. Baik Bejo ataupun Tardi bisa memosisikan peran sebagai salah satu pemain yang baik. Tidak nesunan. Hari ini katanya ada jadwal tertib pasar. Beberapa penjual meminta bantuan kuli panggul untuk membawa dagangan mereka ke tempat aman, atau dititip-titipkan ke kios-kios teman, daripada mengambil risiko barang diangkut garukan. Bejo  kebagian mengangkut dagangan Yu Tari yang ada di ujung jalan, dekat pos satpam. Biasanya, Yu Tari menitpkan dagangan di kios si adik di dalam pasar. Keluarga Yu Tari — turun temurun menekuni profesi sebagai pedangan kelontong di pasar, adiknya yang paling kecil malah sengaja membawa singkong dari Ndoro sampai ke kota. Kalau di jual di sana, sudah jelas terjual murah. Itu yang menyebabkan Bejo jadi bengkek. Harus memanggul beras dari ujung jalan sampai ke dalam pasar.
Meski menjadi musuh para pedagang, sebetulnya untuk kuli panggul macam mereka kedatangan petugas razia adalah anugerah. Mereka bisa membawa uang dua kali lipat dari penghasilan biasa. Biar begitu, Tardi dan teman-teman tidak akan meminta bayaran untuk pedagang tua macam Mbah Murni atau Mbah Ripah, yang hanya menjajakan buah seadanya, dan target penghasilan sedapatnya. Mana mungkin mereka tega. Tenaga dari yang Kuasa ini diberikan cuma-cuma.
***
            “Kata Pak Mantri, pasar mau direnovasi. Jadi mol.”
            “Mol?” Slamet mendelik. “Yang bener kamu Din kalau nomong. Lah aku kerja di mana? Memangnya mol butuh kuli macam kita? Tukang becak sih enak, masih bisa beroperasi.”
            “Bukan mol. Ya memang ada mol, tapi pasar ya tetap ada. Mau ditingkat jadi lantai tiga.”
            “Alamak Yu Tari! Macam mana pula peraturan kayak gitu! Kalau disuruh manggul sampai lantai tiga, bisa-bisa bengkekku nggak sembuh-sembuh sampek cucuku lahir. Nak pulang saja ke Madura!”
            “Muliho[3] Pul!” Ipul langsung sesungutan. “Nggak usah macam-macam. Orang kecil kayak kita bisa apa? Razia tiap pagi saja kita tidak mampu melawan. Apalagi nanti kalau ada teng-teng besar?” timpal Tardi sambil mengunyah gorengan tahu setengah hangat.
            “Wes wes. Jangan pada ribut! Mending ngopi dulu. Itu masih rencana akhir tahun depan.” Udin meletakkan gorengan bakwan panas di tengah-tengah mereka sambil nimbrung duduk di atas becak Slamet. Jadilah sebelum pulang, mereka duduk sambil cerita panjang di teras warung Soto Sumur.
***
            “Nggak ngopi Pak Tardi?”
            Pak Tardi mengangkat tangan singkat sambil tersenyum tulus. “Nanti Din, nunggu bapaknya pada pulang.” Jawabnya.
Satu setengah tahun tidak pandang waktu, cepat sekali berlalu. Sumur dan segala macam tetek bengeknya raib tertutup bangunan megah, tempat nongkrong anak-anak muda. Tardi ataupun yang lain bahkan sudah kerap lupa kalau di sana tempat mereka biasa duduk bersama. Yang mereka tahu, tempat itu sekarang sudah jadi kafe, tempat nongkrong anak-anak muda. Tidak ada rasa iri dengki atau lainnya. Kebutuhan mereka tak bisa ditunda, juga tidak bisa lantas membuat mereka terbuai dengan imajinasi masa lalu. Bayang-bayang tetap bayang-bayang. Tidak mungkin mewujud rupa.
Begitu Udin masuk ke toko, Tardi berjongkok di depan kios pisang Yu Tini. Menunggu siapa saja yang memanggil dan menyodorkan selembar dua ribuan, meminta bantuan membawakan barang-barang. Tardi tidak pernah berpikir hidup itu kejam. Semua berjalan sebagaimana harusnya, memang begini adanya. Semua harus dipikir secara realis. Termasuk tulang-tulangnya yang tambah linu setiap malam, karena harus naik turun tangga entah berapa kali dalam sehari.
“Kerja, Di! Njegok wae gaweanmu[4]!”
Tardi terkekeh dan membalang puntung rokok ke arah Bejo yang lewat sambil memikul belanjaan.
“Weh, yang tiap hari udah diurut! Berterima kasih kamu sama tangga ini! Plus-plusnya bisa tiap hari.” Celetuknya sambil menginjak tangga pasar yang kotor dan sedikit basah.
Raimu!” tukas Bejo sambil berlalu, tanpa tahu kapan lagi mereka bisa berbagi canda dalam temu.



[1] Ramah
[2] Kerupuk yang dihancurkan dengan tangan (diremas).
[3] Pulang sana
[4] Duduk aja kerjaan kamu!

No comments:

Post a Comment