Ilustrasi : EF. Lazuardo
Cerpen
Rahmy Madina
Hujan telah megantarkan kemarahan Ayah
lantaran lelaki itu tahu, aku bermain di tanah lapang itu, lagi, lagi, dan
lagi. Aku tahu, seluruh orang di kota ini tahu, tanah tak bersalah itu telah
berubah keramat, dan tidak ada satu orang saja yang berani menjamah mereka
selaiknya tanah lapang biasa. Bukan entah kenapa, bukan tak tahu mengapa. Kami
semua sama-sama tahu, kaki tangan malaikat maut, secara sah—meski rapat
paripurna tidak pernah tergelar, menetap di sana. Belum ada yang berani
melawan, lantaran jelas alasannya, siapa pula orang yang siap menjemput ajal?
Sore
ini, sebelum berangkat kerja, Ayah benar-benar murka mendapati aku justru
menjadi bocah yang berani mampir ke sana, dan pulang menjelang petang. Satu
gamparan keras bahkan membekas membentuk semburat merah yang panasnya merembes
sampai ke ulu hatiku. Aku bocah dan yang aku tahu, hidup adalah papan permainan
dengan aku sebagai anak biji yang siap bermain. Mereka semua tidak pernah mau
mengerti betapa tanah lapang itu mungkin saja tempat terbaik pilihan kami,
sekalipun untuk mati. Kami rela mati dalam keadaan bahagia. Dan kami bahagia di
sana.
Bagaimana
tidak? Tanah lapang itu tempat yang paling menawan. Kami seperti menemukan
bongkahan taman bermain di surga. Ada sungai mengalir yang membuat hari kami
selalu ternaungi suara gemericik air. Juga tanah lapang luas serupa perbukitan,
dengan pohon-pohon rindang tempat kami biasa duduk sambil bertukar tawa. Kadang
kala, kami juga menertawakan mereka yang menurut kami bodoh. Jelas saja, dari
tanah lapang ini, matahari tenggelam bisa dengan sangat indah kami saksikan.
Juga burung-burung yang seringkali membentuk kupat di langit. Kenapa tak ada
yang mau mencecap karya Tuhan yang indah ini?
“Ayah
sudah bilang, jangan main di situ lagi! Kamu nggak inget, tempo lalu anak
pertama Pak Hendi mati nyaris kehilangan kepala?! Lupa kalau Bu Nida tangannya
putus hampir kehilangan nyawa? Lupa kamu?!”
Ayah
masih mendelik dan aku tak mungkin berani menatap. Sementara itu Ibu diam saja
pertanda setuju, meski jelas dari raut wajahnya dia tak tega.
Plak!
Satu kali lagi, sebelum Ayah meninggalkan aku yang terdiam sambil memegang pipi
kiriku, dengan suara isak tertahan. Malu menangis di depan Ibu. Perempuan
berparas tenang itu menghela napas, lalu menemuiku, menatapku sambil berlutut.
“Ayah
sayang sama kamu. Dia cuma nggak tahu cara menunjukkannya. Maafkan, ya.”
Aku
masih mewek dan tidak mampu membalas. Tidak ada yang ingin aku maafkan. Juga
tidak ada alasan macam apapun yang membuatku mesti kehilangan tanah lapang itu.
Aku tidak tahu, apakah ayah teman-temanku sama galaknya dengan Ayah. Juga tak
tahu apakah pipi mereka sama terbakarnya dengan hatiku sekarang! Aku benci
Ayah!
“Maafkan
Ayah.” Ucap Ibu lagi, sekarang sambil memelukku. Tapi aku tetap bergeming!
***
Aku menenteng ember bekas mencuci
piring sambil menatap Bimo yang berdiri terpaku, di balik pagar bambu dan daun
suji. Ibu di dalam tengah menyusui Mala, adikku. Sementara Ayah, entah ke mana.
Ibu tidak pernah mengizinkan aku bertanya perihal keberadaan Ayah, yang pergi
sesuka hati, dan pulang larut malam.
Tanah
lapang kini benar-benar menjadi larangan, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan
setelah mencuci piring bekas makan siang. Aku menatap Bimo lesu, menoleh
menatap ke arah pintu yang lengang, kemudian menatap Bimo lagi sambil
menggeleng. Baru setelah itu, Bimo berlari meninggalkanku, menghampiri tanah
lapang kami, bersama yang lain. Aku, masuk ke dalam dengan lesu.
Aku tinggal di perkampungan dekat
dengan perumahan elit yang separuh jadi lantaran tersumbat dana. Akhirnya
sebagian besar lahan kosong itu lengang seperti tak berpemilik. Lambat laun,
tempat itu warna manfaatkan untuk pacaran, jalan-jalan sore, atau sekadar iseng
duduk-duduk saja. Banyak anakkecil bermain di sana, termasuk aku. Tapi
kebiasaan itu sirna setelah beberapa kali warga menemukan mayat tergeletak
dengan luka-luka mengaga dan anyir bau darah. Aku memang pernah mendapati
bercak atau genangan darah di sana.
Tapi mau bagaimana, tempat itu
adalah titik temu kami. Tempat segala macam bentuk cerita kami berpusat. Bukan
hanya duduk-duduk, kami juga kerap mandi di kali dekat sana. Banyak betul yang
bisa dan biasa kami lakukan di tanah lapang itu. Berbagai macam kenangan telah
terpahat. Warga mengusulkan tanah itu lekas mereka jadikan perumahan saja. Agar
malaikat maut tak lagi tinggal di sana. Sementara aku, Bimo, dan yang lain masih
cemas, lahat tempat kami biasa bermain, terancam musnah tertutup bangunan.
“Bu.”
“Apa?”
“Aku pingin main.”
Ibu langsung menoleh. “Kamu mau
digampar bapakmu lagi?”
Aku diam menunduk.
“Jangan aneh-aneh. Di sini saja sama
Ibu. Nonton TV. Itu, ambil remotnya. Sama nyalain kipas angin.”
Aku menghela napas berat, tapi
menurut. Jangan-jangan, kemarin adalah hari terakhir aku dan teman-teman
menikmati tanah lapang sebagai tempat bermain kami.
***
Bimo datang lagi dan aku masih
menatapnya dengan pandangan sama. Masam dan tidak bersemangat. Sama sekali.
Ayah memang tidak di rumah, Ibu juga sedang ke posyandu, rumah sepi untuk dua
sampai tiga jam mendatang. Aku sendirian.
“Aku nggak boleh ke sana lagi sama
Ayah.”
“Kan Ayahmu nggak di rumah. Nanti
bilang saja kalau kamu main di rumahku. Ayahku juga nggak di rumah kok. Ayok.”
“Tapi aku takut Ayah marah lagi.
Pipiku sakit.”
“Kamu dipukul?”
“Iya.” Jawabku murung.
Bimo diam sesaat, tapi belum patah
semangat. Dia balik menatapku masih berusaha meyakinkan bahwa semuanya akan
baik-baik saja. Rencana mereka akan berjalan lancar.
“Aku tahu! Bawa saja sarung sama
kopyah!” Nanti, bilang kalau kita baru pulang dari masjid. Ini kan menjelang
maghrib. Habis sholat kita beneran pualng.”
Aku tersenyum. Ide Bimo boleh juga.
“Bener! Yaudah Yok!”
Tanpa pikir panjang, aku ikut Bimo!
Berlari penuh semangat menuju tanah lapang. Fajar, Haikal, dan Takim sudah
menunggu di sana. Bermain sambil melempar tawa tak sudah-sudah. Ayah salah!
Kami tidak akan terluka. Buktinya, sejauh ini kami baik-baik saja! Aku dan Bimo
langsung berlari menghapiri mereka dan bergabung. Kali ini mereka bermain
lempar bola. Siapa yang kena bolanya, dia yang kalah!
Ini adalah surga bagi kami, dan
mereka masih juga tidak mengerti. Betapa kami sering menyulam tawa bersama,
tanpa pernah merasa takut bertemu si kaki tangan malaikat maut.
Matahari yang tinggal sejengkal itu,
tenggelam. Aku, Bimo, dan yang lain duduk sambil mengatur napas. Badan kami
basah keringat tapi tawa bahagia kami masih terasa lekat. Hari ini, aku seperti
lahir kembali. Indah bukan mian.
“Besok kita main lagi ya.”
Aku menatap Takim sambil mengangguk.
“Yaudah yuk pulang. Maghrib!”
Mereka sepakat dan langsung berdiri.
Kami masih bertukar cerita dan saling melempar tawa di sepanjang perjalanan.
Bimo apalagi, bangga betul menceritakan ide dia yang cemerlang, bisa membuat
aku bermain di tanah lapang lagi. Cerita kami masih seru, ketika tiba-tiba kami
mendengar teriakan dan sontak kami menoleh. Seseorang dengan dua yang lain—yang
mengenakan pakaian serba hitam seperti pencuri, tersungkur dengan sepeda motor
masih menyala.
Itu pasti kaki tangan malaikat maut!
Kami langsung saling pandang dan ngebut berlari. Aku tak tahu apa yang harus
aku lakukan. Menyesali perbuatanku yang melanggar perintah Ayah dan Ibu untuk
tetap tinggal. Harusnya, aku tidak kembali ke tanah lapang! Terlambat! Salah
satu dari mereka berlari cepat mngejar kami. Bimo dan yang lain langsung
mempercepat lari mereka, dan jujur aku kuwalahan!
Aku kubangan yang kuinjak dan
membuat aku tersungkur. Lututku seketika berdarah.
“Cepetaaan! Lari!!” Teriak Bimo sama
sekali tidak berhenti.
Aku mencoba untuk berderi sambil
menahan tangis dan perih, ketika salah satu dari mereka mendekat, dan berhasil
menarik sarungku.
“Aaaagghhh!”
Aku menoleh ketakutan begitu mata celurit
itu mengarah kepadaku, sementara mata si kaki tangan malaikat maut itu, terpaku
kepadaku. Aku masih ketakutan begitu kaki tangan malaikat maut yang lain datang
menghampiri kami. Kutatap matanya yang juga menatapku. Beberapa saat, aku
seperti menemukan mata Bimo ada di balik topeng hitam yang dia kenakan.
Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, si kaki tangan malaikat maut yang tengah
mencengkeramku, membuka topengnya dan sungguh membuat aku tercekat.
Kutatap dia lekat-lekat sambil ternganga.
Sambil melepaskan tangannya dariku,
dia berujar lirih namun geram. “Diam! Pulang!”
Sekali lagi! Dia selalu membuatku bergeming!
ai
ai
No comments:
Post a Comment