Tuesday, July 31, 2018

Kaki Tangan Malaikat Maut



Ilustrasi : EF. Lazuardo
Cerpen Rahmy Madina


            Hujan telah megantarkan kemarahan Ayah lantaran lelaki itu tahu, aku bermain di tanah lapang itu, lagi, lagi, dan lagi. Aku tahu, seluruh orang di kota ini tahu, tanah tak bersalah itu telah berubah keramat, dan tidak ada satu orang saja yang berani menjamah mereka selaiknya tanah lapang biasa. Bukan entah kenapa, bukan tak tahu mengapa. Kami semua sama-sama tahu, kaki tangan malaikat maut, secara sah—meski rapat paripurna tidak pernah tergelar, menetap di sana. Belum ada yang berani melawan, lantaran jelas alasannya, siapa pula orang yang siap menjemput ajal?

Sore ini, sebelum berangkat kerja, Ayah benar-benar murka mendapati aku justru menjadi bocah yang berani mampir ke sana, dan pulang menjelang petang. Satu gamparan keras bahkan membekas membentuk semburat merah yang panasnya merembes sampai ke ulu hatiku. Aku bocah dan yang aku tahu, hidup adalah papan permainan dengan aku sebagai anak biji yang siap bermain. Mereka semua tidak pernah mau mengerti betapa tanah lapang itu mungkin saja tempat terbaik pilihan kami, sekalipun untuk mati. Kami rela mati dalam keadaan bahagia. Dan kami bahagia di sana.
Bagaimana tidak? Tanah lapang itu tempat yang paling menawan. Kami seperti menemukan bongkahan taman bermain di surga. Ada sungai mengalir yang membuat hari kami selalu ternaungi suara gemericik air. Juga tanah lapang luas serupa perbukitan, dengan pohon-pohon rindang tempat kami biasa duduk sambil bertukar tawa. Kadang kala, kami juga menertawakan mereka yang menurut kami bodoh. Jelas saja, dari tanah lapang ini, matahari tenggelam bisa dengan sangat indah kami saksikan. Juga burung-burung yang seringkali membentuk kupat di langit. Kenapa tak ada yang mau mencecap karya Tuhan yang indah ini?
“Ayah sudah bilang, jangan main di situ lagi! Kamu nggak inget, tempo lalu anak pertama Pak Hendi mati nyaris kehilangan kepala?! Lupa kalau Bu Nida tangannya putus hampir kehilangan nyawa? Lupa kamu?!”
Ayah masih mendelik dan aku tak mungkin berani menatap. Sementara itu Ibu diam saja pertanda setuju, meski jelas dari raut wajahnya dia tak tega.
Plak! Satu kali lagi, sebelum Ayah meninggalkan aku yang terdiam sambil memegang pipi kiriku, dengan suara isak tertahan. Malu menangis di depan Ibu. Perempuan berparas tenang itu menghela napas, lalu menemuiku, menatapku sambil berlutut.
“Ayah sayang sama kamu. Dia cuma nggak tahu cara menunjukkannya. Maafkan, ya.”
Aku masih mewek dan tidak mampu membalas. Tidak ada yang ingin aku maafkan. Juga tidak ada alasan macam apapun yang membuatku mesti kehilangan tanah lapang itu. Aku tidak tahu, apakah ayah teman-temanku sama galaknya dengan Ayah. Juga tak tahu apakah pipi mereka sama terbakarnya dengan hatiku sekarang! Aku benci Ayah!
“Maafkan Ayah.” Ucap Ibu lagi, sekarang sambil memelukku. Tapi aku tetap bergeming!
***
            Aku menenteng ember bekas mencuci piring sambil menatap Bimo yang berdiri terpaku, di balik pagar bambu dan daun suji. Ibu di dalam tengah menyusui Mala, adikku. Sementara Ayah, entah ke mana. Ibu tidak pernah mengizinkan aku bertanya perihal keberadaan Ayah, yang pergi sesuka hati, dan pulang larut malam.
Tanah lapang kini benar-benar menjadi larangan, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan setelah mencuci piring bekas makan siang. Aku menatap Bimo lesu, menoleh menatap ke arah pintu yang lengang, kemudian menatap Bimo lagi sambil menggeleng. Baru setelah itu, Bimo berlari meninggalkanku, menghampiri tanah lapang kami, bersama yang lain. Aku, masuk ke dalam dengan lesu.
            Aku tinggal di perkampungan dekat dengan perumahan elit yang separuh jadi lantaran tersumbat dana. Akhirnya sebagian besar lahan kosong itu lengang seperti tak berpemilik. Lambat laun, tempat itu warna manfaatkan untuk pacaran, jalan-jalan sore, atau sekadar iseng duduk-duduk saja. Banyak anakkecil bermain di sana, termasuk aku. Tapi kebiasaan itu sirna setelah beberapa kali warga menemukan mayat tergeletak dengan luka-luka mengaga dan anyir bau darah. Aku memang pernah mendapati bercak atau genangan darah di sana.
            Tapi mau bagaimana, tempat itu adalah titik temu kami. Tempat segala macam bentuk cerita kami berpusat. Bukan hanya duduk-duduk, kami juga kerap mandi di kali dekat sana. Banyak betul yang bisa dan biasa kami lakukan di tanah lapang itu. Berbagai macam kenangan telah terpahat. Warga mengusulkan tanah itu lekas mereka jadikan perumahan saja. Agar malaikat maut tak lagi tinggal di sana. Sementara aku, Bimo, dan yang lain masih cemas, lahat tempat kami biasa bermain, terancam musnah tertutup bangunan.
            “Bu.”
            “Apa?”
            “Aku pingin main.”
            Ibu langsung menoleh. “Kamu mau digampar bapakmu lagi?”
            Aku diam menunduk.
            “Jangan aneh-aneh. Di sini saja sama Ibu. Nonton TV. Itu, ambil remotnya. Sama nyalain kipas angin.”
            Aku menghela napas berat, tapi menurut. Jangan-jangan, kemarin adalah hari terakhir aku dan teman-teman menikmati tanah lapang sebagai tempat bermain kami.
***
            Bimo datang lagi dan aku masih menatapnya dengan pandangan sama. Masam dan tidak bersemangat. Sama sekali. Ayah memang tidak di rumah, Ibu juga sedang ke posyandu, rumah sepi untuk dua sampai tiga jam mendatang. Aku sendirian.
            “Aku nggak boleh ke sana lagi sama Ayah.”
            “Kan Ayahmu nggak di rumah. Nanti bilang saja kalau kamu main di rumahku. Ayahku juga nggak di rumah kok. Ayok.”
            “Tapi aku takut Ayah marah lagi. Pipiku sakit.”
            “Kamu dipukul?”
            “Iya.” Jawabku murung.
            Bimo diam sesaat, tapi belum patah semangat. Dia balik menatapku masih berusaha meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Rencana mereka akan berjalan lancar.
            “Aku tahu! Bawa saja sarung sama kopyah!” Nanti, bilang kalau kita baru pulang dari masjid. Ini kan menjelang maghrib. Habis sholat kita beneran pualng.”
            Aku tersenyum. Ide Bimo boleh juga. “Bener! Yaudah Yok!”

            Tanpa pikir panjang, aku ikut Bimo! Berlari penuh semangat menuju tanah lapang. Fajar, Haikal, dan Takim sudah menunggu di sana. Bermain sambil melempar tawa tak sudah-sudah. Ayah salah! Kami tidak akan terluka. Buktinya, sejauh ini kami baik-baik saja! Aku dan Bimo langsung berlari menghapiri mereka dan bergabung. Kali ini mereka bermain lempar bola. Siapa yang kena bolanya, dia yang kalah!
            Ini adalah surga bagi kami, dan mereka masih juga tidak mengerti. Betapa kami sering menyulam tawa bersama, tanpa pernah merasa takut bertemu si kaki tangan malaikat maut.
            Matahari yang tinggal sejengkal itu, tenggelam. Aku, Bimo, dan yang lain duduk sambil mengatur napas. Badan kami basah keringat tapi tawa bahagia kami masih terasa lekat. Hari ini, aku seperti lahir kembali. Indah bukan mian.
            “Besok kita main lagi ya.”
            Aku menatap Takim sambil mengangguk. “Yaudah yuk pulang. Maghrib!”
            Mereka sepakat dan langsung berdiri. Kami masih bertukar cerita dan saling melempar tawa di sepanjang perjalanan. Bimo apalagi, bangga betul menceritakan ide dia yang cemerlang, bisa membuat aku bermain di tanah lapang lagi. Cerita kami masih seru, ketika tiba-tiba kami mendengar teriakan dan sontak kami menoleh. Seseorang dengan dua yang lain—yang mengenakan pakaian serba hitam seperti pencuri, tersungkur dengan sepeda motor masih menyala.
            Itu pasti kaki tangan malaikat maut! Kami langsung saling pandang dan ngebut berlari. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Menyesali perbuatanku yang melanggar perintah Ayah dan Ibu untuk tetap tinggal. Harusnya, aku tidak kembali ke tanah lapang! Terlambat! Salah satu dari mereka berlari cepat mngejar kami. Bimo dan yang lain langsung mempercepat lari mereka, dan jujur aku kuwalahan!
            Aku kubangan yang kuinjak dan membuat aku tersungkur. Lututku seketika berdarah.
            “Cepetaaan! Lari!!” Teriak Bimo sama sekali tidak berhenti.
            Aku mencoba untuk berderi sambil menahan tangis dan perih, ketika salah satu dari mereka mendekat, dan berhasil menarik sarungku.
            “Aaaagghhh!”
            Aku menoleh ketakutan begitu mata celurit itu mengarah kepadaku, sementara mata si kaki tangan malaikat maut itu, terpaku kepadaku. Aku masih ketakutan begitu kaki tangan malaikat maut yang lain datang menghampiri kami. Kutatap matanya yang juga menatapku. Beberapa saat, aku seperti menemukan mata Bimo ada di balik topeng hitam yang dia kenakan. Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, si kaki tangan malaikat maut yang tengah mencengkeramku, membuka topengnya dan sungguh membuat aku tercekat.
            Kutatap dia lekat-lekat sambil ternganga.
            Sambil melepaskan tangannya dariku, dia berujar lirih namun geram. “Diam! Pulang!”
            Sekali lagi! Dia selalu membuatku bergeming!

ai

No comments:

Post a Comment