Ini semua perihal rasa.
Karena lebih daripada sekadar
pikiran, yang memengaruhi jati diri manusia menurutku adalah rasa.
Dan juga, karena selain otak,
Allah juga menganugerahkan kita hati.
Jelas Allah berfirman dalam surat
Al Baqarah
“Sesungguhnya
orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu
beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.”
Itu sebabnya, hati itu penting.
Ada orang yang paham betul tapi senantiasa tak
mau percaya? Ada!
Rasa, semua yang terkonek dengan Allah adalah
rasa kita, hati kita. Bukan hanya otak. Otak penuh, hati mati rasa, apalah
kita?
Hanya menghafal tanpa sanggup mengimani.
Betapa tersiksa.
Hai semua, awalan yang udah cukup, wow ya!
Aku nulisnya juga sambil merasa-rasa, seperti
apa ya perasaanku.
Sebenarnya, tema blog ku kali ini simple kok. Pingin
aja ngajakin cerita soal rasa.
Gagara pagi-pagi dapet cerita dari temenku soal
Rindu.
Dan ini rindu yang ngga biasa. Bukan rindu yang
receh-receh gitu.
Tapi rindu kepada Bapakny!
Ah, kenapa semua yang berhubungan dengan orang
tua, khususnya Bapak yang kerjanya mesti menyita waktu banget, atau sampai rela
membentang jarak, selalu menyedot perhatianku.
Kadang, aku berpikir, salah satu alasan kita
bertahan, selain karena Allah, pasti karena keluarga. Entah bagaimana, keluarga
itu maknanya selalu hangat.
Sebenarnya, kita adalah individu yag tidak
saling tahu dan diuji di muka bumi untuk saling merasa dan menerima, hingga
terbentuklah makna keluarga.
Ingin rasanya, semua rasa yang telah tercecap,
tersambung pula di surga.
Nha, temenku ini pagi-pagi udah bikin status
yang nge gas.
Seperti kebiasaanku, kepo nggak kepo ya, tapi
aku selalu tergelitik dan selalu pingin tahu, kenapa? Seenggaknya, aku selalu
mencoba memosisikan diri sebagai pendengar karena dengan dia update status, dia
berarti ingin didengar. Aku selalu bersikap sebagai tong yang siap meneriam
apapun yang ingin dia bagikan kepadaku, ketimbang berkoar di status yang orang
belum tentu mau peduli.
Jadi, Bapaknya sedang bekerja di luar kota dan
ibunya kangen. Akhirnya si Ibu dengan segala upaya ingin betul menghubungi
suaminya. Karena terhambat faktor, tak punya HP, akhirnya si Ibu ini meminta
tolong “MAJIKAN” yang menyuruh suaminya bekerja di luar kota (ngebangun
sesuatu) buat si anak Majikan, supaya bisa barang lima belas menit bicara.
Mereka hanya rindu, itu saja.
Tapi entah bagaimana, entah apa yang keluarga
majikan pikirkan, tindakan itu justru disalah artikan dengan uang. Beranggapan
bahwa ibu temenku ini lagi butuh uang makanya minta telpon-telpon.
Duh kok aku miris ya!
Jangankan sekadar LIMA RIBU buat tlp!
Lima juta pun aku rela mengeluarkan yang
penting rinduku tuntas terbayar!
Ini bukan perkara harta. Tapi lebih dibanding
itu.
Sama halnya ketika kita rindu kepada Allah tapi
kita belum bisa sholat (ada halangan) betapa rindu itu seolah mencekat
kerongkongan, memeras air mata?
Aku nggak habis pikir. Yang namanya hati itu
gudangnya rasa. Yang namanya otak tanpa melibatkan rasa, gudangnya prasangka.
Tolonglah, terima mereka yang berhati dengan
hati pula. Jangan dengan prasangkan.
Jadi orang mbok ya yang arif.
Semacam itu sih yang ingin aku ceritakan.
Mungkin banyak di antara kita yang juga pernah
merasa sangat rindu. Aku juga begitu lo, teman.
Gampang kangen. Dan kalau udah gitu, pingin
banget jarak ini langsung aku lipat!
Iya nggak sih?
Nah, dengan cerita ini aku ingin berbagi aja,
bahwa yang namanya rasa itu rumah.
Selayaknya rumah, semua orang pasti selalu di
dalamnya selalu hangat.
Lembut penuh sentuhan kasih sayang.
Ini bukan perkara uang, sungguh.
Kalau sudah rindu, kita pasti ngga peduli entah
berapa ratus ribu. Apalagi ini sama Bapak!
Semoga bisa bermanfaat dan menjadi inspirasi ya
semua.
Kita hanya butuh peka kok dan mengerti rasa
sesama dari kita.
Sungguh semoga bermanfaat dan semoga bisa
membuat kita semua lebih mengerti ya.
Salam, selamat Selasa pagi ^^
No comments:
Post a Comment