Cerpen karya Rahmy Madina
Ilustrasi EF Lazuardo
Langkah
kaki pemuda itu terseret-seret. Menimbulkan bunyi srak-srek malas. Kalau ada
orang yang benar-benar memperhatikan, rasanya ingin membawa dia kembali ke
kasur. Sudut mata panda itu merah, kentara semalam tak bisa terlelap. Kebutuhan
memaksa Den harus memangkas waktu istirahat. Kalau tidak begitu, dia pasti
sudah menggali kubur dia sendiri karena harus mati tergilas lapar.
Sementara malam selalu menyuguhkan
ruang menarik. Memetik gitar dengan bekal lembaran kertas dan pulpen di depan
kamar kos yang selalu diusahakan bersih, bait-bait lirik itu berhasil meluncur
dari ruang imajinasi Den. Dengan kemampuan macam itu, harusnya dia bukan
mahasiswa berotak pas-pasan yang tidak bisa lulus tepat waktu. Pengalaman yang
mengajarkan dia banyak hal, justru membuat dia takut beranjak dari zona nyaman
ini. Maka satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah bekerja. Bapak angkat
Den sengaja memotong kiriman tiap bulan, yang akhirnya berakhir dengan
keputusan Den sendiri, untuk tidak mau menerima uang baik sepeser pun. Biarkan,
dia pemuda yang keras kepala.
“Tenang. Tenaga ataupun otakku masih
punya cukup daya kalau hanya untuk menghasilkan satu atau dua juta tiap bulan.”
Begitu jawaban sarkastis Den, ketika Stepfather,
begitu Den memanggil Hasan, saat lelaki berusia setengah abad itu membujuk
untuk menerima uang saku.
Ini tahun ke lima Hasan tinggal di
dalam rumah. Menyita ruang gerak Den, mengusik petikan gitar Den, bahkan
mengambil sebagian besar waktu Ibu, baik dari Den ataupun adik satu-satunya
yang masih duduk di bangku kelas 5 SD, Tiara. Den tak mau berkilah, memang dia
yang mengizinkan Ibu untuk menikah lagi agar wanita yang dia cintai tidak
terus-terusan sendiri. Pun Pak Hasan lelaki baik dan mapan. Tak ada alasan
untuk tidak menolak. Namun, entah bagaimana, hati Den serasa terus menerus
memberontak. Ada yang membuatnya enggan menatap mata Pak Hasan, atau melihat
lelaki itu beraktivitas di dalam rumah. Kikuk bukan main.
Bicara memang gampang, kenyataannya,
duit sulit diajak berkawan karib. Jangankan dua juta, lima ratus ribu saja
susah bukan main. Dia harus benar-benar jungkir balik. Den bekerja di pabrik
roti di dekat pasar Banjarsari. Berangkat pukul lima pagi, pulang pukul satu
siang. Tiga hari dalam satu minggu. Tugasnya hanya mengaduk ragi dan
memindahkan loyang-loyang besar dari pemanggang ke meja saji. Dengan gaji enam
ratus lima puluh ribu setiap bulan, Den harus benar-benar bisa membaginya
dengan baik. Kalau tidak begitu, teman dekat terpaksa jadi sasaran peminjaman
uang.
Pagi itu, tidak seperti biasa, Den
malas betul berangkat kerja. Masih ada sekerumun imaji yang semalam tidak
tuntas tersampaikan. Sementara di pikirannya hanya ada ragi bantal, muffins,
atau roti kacang yang harus dia buat esok hari. Dan suara mesin-mesin giling
yang rasanya berdengung merusak melodi yang dia mainkan. Gila! Pekerjaan ini
seakan masuk ke alam bawah sadar, menguasai dirinya sendiri. Kalau begini
terus, bisa-bisa Den gila hanya gara-gara roti, konyol sekali.
Bocah
itu memasukkan tangan ke dalam jaket sambil menguap sebelum akhirnya terkesiap,
begitu melihat seorang ibu terjatuh tak kuat membawa pikulan. Tangkas dia berlari
dibarengi dengan beberapa orang yang ikut membantu si ibu. Sementara yang lain
membantu berdiri, Den memasukkan dagangan Ibu itu kembali ke keranjang. Pantas
saja, berat betul keranjang itu. Tak habis pikir Den dibuatnya. Bagaimana bisa
si ibu ini harus setiap hari menekuni pekerjaannya? Ke mana suami atau
anak-anaknya?
“Makasih Mas, sudah nggak apa-apa.
Tadi saya cuma tersandung kaki sendiri.” Ujarnya meyakinkan orang-orang yang
tentu masih cemas.
“Dibantuin bawa aja ya, Bu?” tanya salah
seorang pemuda.
Si ibu menggeleng. “Nggak usah. Ibu
biasa sendiri.”
Den yang sama tak tega lantas ikut
bertanya. “Ibu mau ke pasar?”
“Iya.”
Den tersenyum, “Biar saya saja yang
bawa, saya juga mau ke pasar. Berangkat kerja.”
“Halah nggak usah. Ibu bisa
sendiri.”
Tidak mau lantas menyerah, Den
memanggul keranjang besar si ibu pada sebelah pundak kemudian menggandeng ibu
itu. “Ayok, Bu.” Ujarnya. Tidak menggubris tolakan si ibu yang makin tidak
enak. Sementara orang-orang yang lain mulai kembali ke aktivitas mereka.
“Makasih lo, Nak.” Ucap si Ibu pada
akhirnya. Membuat Den akhirnya tak khawatir melepas genggaman tangannya.
“Sama-sama, Bu. Nggak perlu
sungkan.” Jawab Den akrab.
***
Tidak seperti pagi kemarin, Den
semangat sekali berangkat kerja. Bahkan lebih pagi dari biasanya. Sepanjang
jalan, dia berlari kecil seperti dikejar waktu. Tak ada sedikitpun muka bantal,
segar bukan main. Sampai di persimpangan jalan tempat ibu penjual daun pisang dan
buah-buahan segar itu jatuh kemarin pagi, Den duduk di pinggir trotoar menunggu.
Berharap dalam hati, semoga dia tidak terlambat sama sekali.
Entah apa yang mendorong Den
melakukan semua ini. Ada perasaan ingin yang tidak bisa dia sendiri terka dari
mana datangnya. Yang jelas, dia tidak akan tega melihat Bu Narti sampai memikul
dagangan dia sendiri. Kemarin, setelah pulang kerja Den menyempatkan mampir ke
kios Bu Narti di dalam pasar. Perempuan tua itu langsung mengenali Den. Meminta
pemilik warung depan kiosnya menyediakan sepiring nasi lengkap dengan lauknya,
dan segelas es teh yang nikmat. Den dimintanya makan sampai kenyang, sambil
mendengarkan cerita Bu Narti panjang lebar. Tentang rumahnya di desa, tentang
suaminya yang sudah berpulang, anak-anak yang sudah menikah semua dan ikut
tinggal bersama suami mereka, kecuali yang bungsu, sekarang tinggal bersama Bu
Narti.
Meski klise, tapi Den suka mendengar
cerita tentang keluarga Bu Narti. Yang meski jauh, tetap saling mendoakan,
sehingga jarak hanyalah seperti terpisah geber tipis. Dan hati mereka serasa
berada pada satu jengkal saja. Den suka mengamati raut wajah wanita tua itu
yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Memiliki tiga orang anak
perempuan yang lembut dan penyayang. Cucu-cucu yang lucu, juga menantu yang
tidak semaunya seperti pada sinetron-sinetron di TV.
Setelah dua puluh menit menunggu,
akhirnya Den kembali bersemangat, begitu Bu Narti muncul dari tikungan jalan.
Den terkesiap berdiri dan berlari menghampiri wanita tua itu. Sungguh, dia
tidak ingin meminta apapun. Dia hanya ingin melakukannya.
“Bu, sini biar saya yang bawa.”
“Loh, kamu Nak.” Bu Narti menatap
Den sambil tersenyum. “Sengaja nunggu Ibu?”
Den hanya tersenyum kikuk. Tak bisa
berbohong ataupun mengarang cerita. “Syukurlah, belum terlambat.” Ujarnya
sambil mengambil alih pikulan Bu Narti yang langsung menunjukkan raut wajah
terharu.
“Ya Allah gusti. Semoga Allah
membalas kebaikanmu ya, Nak. Ibu nggak bisa memberikan apa-apa.”
“Saya nggak minta apa-apa Bu, doa Bu
Narti saja sudah cukup.”
Jadilah keduanya berjalan beriringan
sampai ke kios tempat Bu Narti berjualan. Den tidak tahu di mana rumah wanita
tua ini. Kalau jauh dari persimpangan jalan, beban panggulan ini berarti sudah
bersemayam di pundak Bu Narti lebih lama lagi. Belum juga dari simpang jalan ke
pasar, dari pasar bagian bawah naik sampai ke kios tempat dia berjualan.
Sungguh, Den tidak tega membayangkan.
“Berapa usia kamu?”
Den tersenyum. “Dua puluh empat, Bu.”
“Kerja di mana?” tanya Bu Narti
sambil menata barang dagangannya.
“Di toko roti seberang pasar.”
Bu Narti diam menatap Den sambil
tersenyum haru. “Terima kasih.” Ucapnya. “Baru kali ini saya bertemu dengan
pemuda sebaik kamu. Coba kalau saya masih punya anak gadis, saya nikahkan sama
kamu.” Celetuk Bu Narti sontak membuat Den terkekeh.
“Ah, Bu Narti ini. Bisa saja.”
Bu Narti ikut tersenyum. “Bilang ke
Ibu kamu, terima kasih. Karena sudah melahirkan dan mendidik kamu sampai
menjadi pemuda yang baik dan tulus. Ibu kamu pasti bangga sekali memiliki kamu,
Nak. Dia kerjaannya apa?”
Den sontak terdiam. Sudah beberapa
hari ini bahkan Den tidak benar-benar mengingat Ibu. Wanita itu entah sedang
apa di rumah. Den jarang sekali menelfon. Setelah ada Pak Hasan, dia seakan tak
penting lagi. Den seperti menyerahkan seluruh jiwa Ibu kepada lelaki itu.
“Punya warung di depan rumah, Bu.”
“Kamu bantu di warung juga?”
Pertanyaan Bu Narti yang biasa makin menyudut. Den hanya bisa menggeleng. “Loh,
kok nggak dibantuin. Punya warung itu capek, lo. Kasian ibu kamu.”
“Dia jauh, Bu. Saya merantau di
sini.” Jawab Den tetap bersikap biasa saja.
Bu Narti diam sejenak. “Jangan
disia-siakan. Jaga ibu kamu dengan baik. Jangan sampai akhirnya menyesal.
Percayalah, dia yang terbaik.” Jelas Bu Narti seolah-olah dia bisa membaca
pikiran Den layaknya papan pengumuman. Den mengangguk lesu.
***
Sepanjang hari, Den tidak bisa
menjauhkan pikirannya dari Ibu. Ibu tiba-tiba saja menguras waktu Den paling
banyak. Bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang Ibu kerjakan di rumah.
Membayangkan Ibu yang menutup warung seorang diri, mencuci semua perkakas, dan
merapikan meja kursi sendirian. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Den
benar-benar menyesal. Tangan ini bisa membantu orang lain, tapi tiada pernah
meringankan beban Ibu sendiri.
Usai pulang kerja, Den duduk di
depan kos sambil melamun. Rindu pada Ibu. Mengutak-atik ponselnya, berkali-kali
mengurungkan niat menghubungi Ibu. Mata Den terpejam merasakan lelah yang
berjubal. Hatinya dipenuhi kecewa dan rindu yang berkecamuk. Entah kapan
terakhir kali dia pulang. Semakin dia membiarkan perasaan itu ada, makin rindu
dia pada Ibu.
Tanpa pikir panjang, Den langsung
masuk kamar dan mengambil ranselnya. Memasukkan apa yang dia butuhkan ke dalam
tas, mengenakan jaket, mengunci pintu kemudian ngacir pulang ke Jogja. Hari
masih sore, cukup waktu untuk naik angkutan dan dapat bus malam.
Tidak ada yang Den inginkan selain
pulang. Menuntaskan kekecewaannya pada diri sendiri. Membayar rasa bersalah
yang selama ini tak berhasil dia rasakan. Sepanjang jalan, Den menahan tangis.
Sesak dadanya tiap kali mengingat wajah Ibu. Sudah begitu lama dia tidak mengacuhkan
Ibu, membiarkan wanita itu menanggung rindu seorang diri. Selama bus melaju, Den tak sedikit pun
berniat memejamkan mata. Dia ingin tetap terjaga. Merapal sesal dan berusaha
mencari penawar dari dalam diri Den sendiri.
Begitu sampai di depan rumah, Den
berdiri menatap bangunan tua itu sambil menyeka air mata. Mengamati warung ibu
yang sudah bersih. Pekarangan yang rapi dan aroma wangi teh yang mengepul dari
dalam rumah. Ya Tuhan, benar dia sekarang di rumah. Setelah membersihkan wajah
dengan lengan jaket, Den membuka pintu rumah. Tanpa mengucap salam atau sepatah
kata pun, dia melangkah masuk, namun terhenti di depan kamar Tiara. Menatap
sejenak Pak Hasan yang duduk di ambang tempat tidur adiknya. Membenarkan
selimut, mengusap rambut kemudian mengecup singkat kening gadis manis itu. Den
tersenyum, begitu Pak Hasan menyadari
kehadirannya. Untuk kali pertama, kedua pasang mata itu benar-benar saling
memandang.
Den tidak mengucap sepatah pun kata.
Dia kembali melangkah, masuk ke dalam kamar Ibu. Didapatinya Ibu sedang
menggulir ruas jari, berzikir. Barangkali tengah mendoakan dirinya. Den
menjatuhkan tas kemudian langsung rebah di pangkuan Ibu sambil menahan tangis.
Ibu yang terkejut tidak lantas mengajukan rentetan pertanyaan. Rindu membungkam
mulutnya.
Lembut, tangan yang mulai keriput
itu mengusap rambut Den. Sekali, dua kali, tiga kali, sampai entah kali
keberapa. Kemudian menggumamkan doa. “Semoga, Allah selalu merengkuhmu erat
dalam pelukanNya, dekat dengan hatimu sehingga hati itu tiada pernah kering.
Menjaga dan melindungimu, menggantikan penjagaan Ibu. Semoga apa yang kauingin,
dapat kau raih. Tiada daya yang Ibu punya selain berdoa, mengingat dan
merindukanmu.”
Den terdiam, merasakan doa itu yang
masuk luruh ke dalam hati dan terlahir kembali mewujud air mata.
No comments:
Post a Comment