Wednesday, August 1, 2018

Bu,



Cerpen karya Rahmy Madina
Ilustrasi EF Lazuardo

Langkah kaki pemuda itu terseret-seret. Menimbulkan bunyi srak-srek malas. Kalau ada orang yang benar-benar memperhatikan, rasanya ingin membawa dia kembali ke kasur. Sudut mata panda itu merah, kentara semalam tak bisa terlelap. Kebutuhan memaksa Den harus memangkas waktu istirahat. Kalau tidak begitu, dia pasti sudah menggali kubur dia sendiri karena harus mati tergilas lapar.

            Sementara malam selalu menyuguhkan ruang menarik. Memetik gitar dengan bekal lembaran kertas dan pulpen di depan kamar kos yang selalu diusahakan bersih, bait-bait lirik itu berhasil meluncur dari ruang imajinasi Den. Dengan kemampuan macam itu, harusnya dia bukan mahasiswa berotak pas-pasan yang tidak bisa lulus tepat waktu. Pengalaman yang mengajarkan dia banyak hal, justru membuat dia takut beranjak dari zona nyaman ini. Maka satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah bekerja. Bapak angkat Den sengaja memotong kiriman tiap bulan, yang akhirnya berakhir dengan keputusan Den sendiri, untuk tidak mau menerima uang baik sepeser pun. Biarkan, dia pemuda yang keras kepala.
            “Tenang. Tenaga ataupun otakku masih punya cukup daya kalau hanya untuk menghasilkan satu atau dua juta tiap bulan.” Begitu jawaban sarkastis Den, ketika Stepfather, begitu Den memanggil Hasan, saat lelaki berusia setengah abad itu membujuk untuk menerima uang saku.
            Ini tahun ke lima Hasan tinggal di dalam rumah. Menyita ruang gerak Den, mengusik petikan gitar Den, bahkan mengambil sebagian besar waktu Ibu, baik dari Den ataupun adik satu-satunya yang masih duduk di bangku kelas 5 SD, Tiara. Den tak mau berkilah, memang dia yang mengizinkan Ibu untuk menikah lagi agar wanita yang dia cintai tidak terus-terusan sendiri. Pun Pak Hasan lelaki baik dan mapan. Tak ada alasan untuk tidak menolak. Namun, entah bagaimana, hati Den serasa terus menerus memberontak. Ada yang membuatnya enggan menatap mata Pak Hasan, atau melihat lelaki itu beraktivitas di dalam rumah. Kikuk bukan main.
            Bicara memang gampang, kenyataannya, duit sulit diajak berkawan karib. Jangankan dua juta, lima ratus ribu saja susah bukan main. Dia harus benar-benar jungkir balik. Den bekerja di pabrik roti di dekat pasar Banjarsari. Berangkat pukul lima pagi, pulang pukul satu siang. Tiga hari dalam satu minggu. Tugasnya hanya mengaduk ragi dan memindahkan loyang-loyang besar dari pemanggang ke meja saji. Dengan gaji enam ratus lima puluh ribu setiap bulan, Den harus benar-benar bisa membaginya dengan baik. Kalau tidak begitu, teman dekat terpaksa jadi sasaran peminjaman uang.
            Pagi itu, tidak seperti biasa, Den malas betul berangkat kerja. Masih ada sekerumun imaji yang semalam tidak tuntas tersampaikan. Sementara di pikirannya hanya ada ragi bantal, muffins, atau roti kacang yang harus dia buat esok hari. Dan suara mesin-mesin giling yang rasanya berdengung merusak melodi yang dia mainkan. Gila! Pekerjaan ini seakan masuk ke alam bawah sadar, menguasai dirinya sendiri. Kalau begini terus, bisa-bisa Den gila hanya gara-gara roti, konyol sekali.
            Bocah itu memasukkan tangan ke dalam jaket sambil menguap sebelum akhirnya terkesiap, begitu melihat seorang ibu terjatuh tak kuat membawa pikulan. Tangkas dia berlari dibarengi dengan beberapa orang yang ikut membantu si ibu. Sementara yang lain membantu berdiri, Den memasukkan dagangan Ibu itu kembali ke keranjang. Pantas saja, berat betul keranjang itu. Tak habis pikir Den dibuatnya. Bagaimana bisa si ibu ini harus setiap hari menekuni pekerjaannya? Ke mana suami atau anak-anaknya?
            “Makasih Mas, sudah nggak apa-apa. Tadi saya cuma tersandung kaki sendiri.” Ujarnya meyakinkan orang-orang yang tentu masih cemas.
            “Dibantuin bawa aja ya, Bu?” tanya salah seorang pemuda.
            Si ibu menggeleng. “Nggak usah. Ibu biasa sendiri.”
            Den yang sama tak tega lantas ikut bertanya. “Ibu mau ke pasar?”
            “Iya.”
            Den tersenyum, “Biar saya saja yang bawa, saya juga mau ke pasar. Berangkat kerja.”
            “Halah nggak usah. Ibu bisa sendiri.”
            Tidak mau lantas menyerah, Den memanggul keranjang besar si ibu pada sebelah pundak kemudian menggandeng ibu itu. “Ayok, Bu.” Ujarnya. Tidak menggubris tolakan si ibu yang makin tidak enak. Sementara orang-orang yang lain mulai kembali ke aktivitas mereka.
            “Makasih lo, Nak.” Ucap si Ibu pada akhirnya. Membuat Den akhirnya tak khawatir melepas genggaman tangannya.
            “Sama-sama, Bu. Nggak perlu sungkan.” Jawab Den akrab.

***
            Tidak seperti pagi kemarin, Den semangat sekali berangkat kerja. Bahkan lebih pagi dari biasanya. Sepanjang jalan, dia berlari kecil seperti dikejar waktu. Tak ada sedikitpun muka bantal, segar bukan main. Sampai di persimpangan jalan tempat ibu penjual daun pisang dan buah-buahan segar itu jatuh kemarin pagi, Den duduk di pinggir trotoar menunggu. Berharap dalam hati, semoga dia tidak terlambat sama sekali.
            Entah apa yang mendorong Den melakukan semua ini. Ada perasaan ingin yang tidak bisa dia sendiri terka dari mana datangnya. Yang jelas, dia tidak akan tega melihat Bu Narti sampai memikul dagangan dia sendiri. Kemarin, setelah pulang kerja Den menyempatkan mampir ke kios Bu Narti di dalam pasar. Perempuan tua itu langsung mengenali Den. Meminta pemilik warung depan kiosnya menyediakan sepiring nasi lengkap dengan lauknya, dan segelas es teh yang nikmat. Den dimintanya makan sampai kenyang, sambil mendengarkan cerita Bu Narti panjang lebar. Tentang rumahnya di desa, tentang suaminya yang sudah berpulang, anak-anak yang sudah menikah semua dan ikut tinggal bersama suami mereka, kecuali yang bungsu, sekarang tinggal bersama Bu Narti.
            Meski klise, tapi Den suka mendengar cerita tentang keluarga Bu Narti. Yang meski jauh, tetap saling mendoakan, sehingga jarak hanyalah seperti terpisah geber tipis. Dan hati mereka serasa berada pada satu jengkal saja. Den suka mengamati raut wajah wanita tua itu yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Memiliki tiga orang anak perempuan yang lembut dan penyayang. Cucu-cucu yang lucu, juga menantu yang tidak semaunya seperti pada sinetron-sinetron di TV.
            Setelah dua puluh menit menunggu, akhirnya Den kembali bersemangat, begitu Bu Narti muncul dari tikungan jalan. Den terkesiap berdiri dan berlari menghampiri wanita tua itu. Sungguh, dia tidak ingin meminta apapun. Dia hanya ingin melakukannya.
            “Bu, sini biar saya yang bawa.”
            “Loh, kamu Nak.” Bu Narti menatap Den sambil tersenyum. “Sengaja nunggu Ibu?”
            Den hanya tersenyum kikuk. Tak bisa berbohong ataupun mengarang cerita. “Syukurlah, belum terlambat.” Ujarnya sambil mengambil alih pikulan Bu Narti yang langsung menunjukkan raut wajah terharu.
            “Ya Allah gusti. Semoga Allah membalas kebaikanmu ya, Nak. Ibu nggak bisa memberikan apa-apa.”
            “Saya nggak minta apa-apa Bu, doa Bu Narti saja sudah cukup.”
            Jadilah keduanya berjalan beriringan sampai ke kios tempat Bu Narti berjualan. Den tidak tahu di mana rumah wanita tua ini. Kalau jauh dari persimpangan jalan, beban panggulan ini berarti sudah bersemayam di pundak Bu Narti lebih lama lagi. Belum juga dari simpang jalan ke pasar, dari pasar bagian bawah naik sampai ke kios tempat dia berjualan. Sungguh, Den tidak tega membayangkan.
            “Berapa usia kamu?”
            Den tersenyum. “Dua puluh empat, Bu.”
            “Kerja di mana?” tanya Bu Narti sambil menata barang dagangannya.
            “Di toko roti seberang pasar.”
            Bu Narti diam menatap Den sambil tersenyum haru. “Terima kasih.” Ucapnya. “Baru kali ini saya bertemu dengan pemuda sebaik kamu. Coba kalau saya masih punya anak gadis, saya nikahkan sama kamu.” Celetuk Bu Narti sontak membuat Den terkekeh.
            “Ah, Bu Narti ini. Bisa saja.”
            Bu Narti ikut tersenyum. “Bilang ke Ibu kamu, terima kasih. Karena sudah melahirkan dan mendidik kamu sampai menjadi pemuda yang baik dan tulus. Ibu kamu pasti bangga sekali memiliki kamu, Nak. Dia kerjaannya apa?”
            Den sontak terdiam. Sudah beberapa hari ini bahkan Den tidak benar-benar mengingat Ibu. Wanita itu entah sedang apa di rumah. Den jarang sekali menelfon. Setelah ada Pak Hasan, dia seakan tak penting lagi. Den seperti menyerahkan seluruh jiwa Ibu kepada lelaki itu.
            “Punya warung di depan rumah, Bu.”
            “Kamu bantu di warung juga?” Pertanyaan Bu Narti yang biasa makin menyudut. Den hanya bisa menggeleng. “Loh, kok nggak dibantuin. Punya warung itu capek, lo. Kasian ibu kamu.”
            “Dia jauh, Bu. Saya merantau di sini.” Jawab Den tetap bersikap biasa saja.
            Bu Narti diam sejenak. “Jangan disia-siakan. Jaga ibu kamu dengan baik. Jangan sampai akhirnya menyesal. Percayalah, dia yang terbaik.” Jelas Bu Narti seolah-olah dia bisa membaca pikiran Den layaknya papan pengumuman. Den mengangguk lesu.

***
            Sepanjang hari, Den tidak bisa menjauhkan pikirannya dari Ibu. Ibu tiba-tiba saja menguras waktu Den paling banyak. Bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang Ibu kerjakan di rumah. Membayangkan Ibu yang menutup warung seorang diri, mencuci semua perkakas, dan merapikan meja kursi sendirian. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Den benar-benar menyesal. Tangan ini bisa membantu orang lain, tapi tiada pernah meringankan beban Ibu sendiri.
            Usai pulang kerja, Den duduk di depan kos sambil melamun. Rindu pada Ibu. Mengutak-atik ponselnya, berkali-kali mengurungkan niat menghubungi Ibu. Mata Den terpejam merasakan lelah yang berjubal. Hatinya dipenuhi kecewa dan rindu yang berkecamuk. Entah kapan terakhir kali dia pulang. Semakin dia membiarkan perasaan itu ada, makin rindu dia pada Ibu.
            Tanpa pikir panjang, Den langsung masuk kamar dan mengambil ranselnya. Memasukkan apa yang dia butuhkan ke dalam tas, mengenakan jaket, mengunci pintu kemudian ngacir pulang ke Jogja. Hari masih sore, cukup waktu untuk naik angkutan dan dapat bus malam.
            Tidak ada yang Den inginkan selain pulang. Menuntaskan kekecewaannya pada diri sendiri. Membayar rasa bersalah yang selama ini tak berhasil dia rasakan. Sepanjang jalan, Den menahan tangis. Sesak dadanya tiap kali mengingat wajah Ibu. Sudah begitu lama dia tidak mengacuhkan Ibu, membiarkan wanita itu menanggung rindu seorang diri.  Selama bus melaju, Den tak sedikit pun berniat memejamkan mata. Dia ingin tetap terjaga. Merapal sesal dan berusaha mencari penawar dari dalam diri Den sendiri.
            Begitu sampai di depan rumah, Den berdiri menatap bangunan tua itu sambil menyeka air mata. Mengamati warung ibu yang sudah bersih. Pekarangan yang rapi dan aroma wangi teh yang mengepul dari dalam rumah. Ya Tuhan, benar dia sekarang di rumah. Setelah membersihkan wajah dengan lengan jaket, Den membuka pintu rumah. Tanpa mengucap salam atau sepatah kata pun, dia melangkah masuk, namun terhenti di depan kamar Tiara. Menatap sejenak Pak Hasan yang duduk di ambang tempat tidur adiknya. Membenarkan selimut, mengusap rambut kemudian mengecup singkat kening gadis manis itu. Den tersenyum, begitu Pak Hasan  menyadari kehadirannya. Untuk kali pertama, kedua pasang mata itu benar-benar saling memandang.
            Den tidak mengucap sepatah pun kata. Dia kembali melangkah, masuk ke dalam kamar Ibu. Didapatinya Ibu sedang menggulir ruas jari, berzikir. Barangkali tengah mendoakan dirinya. Den menjatuhkan tas kemudian langsung rebah di pangkuan Ibu sambil menahan tangis. Ibu yang terkejut tidak lantas mengajukan rentetan pertanyaan. Rindu membungkam mulutnya.
            Lembut, tangan yang mulai keriput itu mengusap rambut Den. Sekali, dua kali, tiga kali, sampai entah kali keberapa. Kemudian menggumamkan doa. “Semoga, Allah selalu merengkuhmu erat dalam pelukanNya, dekat dengan hatimu sehingga hati itu tiada pernah kering. Menjaga dan melindungimu, menggantikan penjagaan Ibu. Semoga apa yang kauingin, dapat kau raih. Tiada daya yang Ibu punya selain berdoa, mengingat dan merindukanmu.”
            Den terdiam, merasakan doa itu yang masuk luruh ke dalam hati dan terlahir kembali mewujud air mata.


ai

No comments:

Post a Comment