- Tangisan Pertama adalah cerita yang untuk kali pertama mendapatkan kehormatan diilustrasikan oleh EF.Lazurdo, terima kasih untuk proses kreatif yang semoga bermanfaat-
Selamat Membaca
Aku tidak pernah mau peduli apa yang orang katakan tentang keluargaku. Keluargaku sempurna apapun anggapan mereka. Aku tetap merasa lengkap, tiada terkurang. Ibu bahkan tak pernah merasa digunjing, meski setiap kali dia berjalan melewati warung sembako di persimpangan jalan, ibu-ibu yang seperti kerumunan lalat itu tak pernah melepaskan pandangan hina dari dia. Kasak-kusuk tak hanya satu atau dua hari berlanjut, tapi seperti diidapkan kepada kami layaknya koreng yang tiada bisa disembuhkan seumur hidup. Kami memilih diam dan berusaha menutup borok yang dibuat oleh suami Ibu sendiri, bapakku!
Awalnya, Bapak pulang membawa lebah cantik yang kulitnya bak pualam, putih, mulus, dan mengkilat. Dia mintakan izin kepada Ibu untuk menginapkan si perempuan yang dia akui adalah teman masa sekolah dulu. Ibu istri yang penurut. Entah karena rasa cinta kepada Bapak, atau kesadaran dia yang harus hormat terhadap suami, Ibu selalu menerima apa yang menjadi keputusan laki-laki hidung belang itu. Bapak selalu merasa bisa mencukupi hidup dia sendiri, setelah bengkel yang dia dirikan sewaktu masih jadi pengantin baru itu kini berkembang pesat. Meninggalkan Ibu adalah kemungkinan terbesar yang bisa kuterka setelah setiap malam Bapak hampir tidak pernah pulang.
Beberapa hari setelah kejadian menginapnya lebah di rumah kami, aku melihat Ibu dan Yu Tari menangis berdua di dalam kamar. Aku seperti penonton kesunyian, yang menyaksikan pertunjukkan, yang tidak pernah kutahu dari mana dan seperti apa cerita itu dimulai pun akan selesai. Aku sama sekali tak boleh turut serta menangis, meskipun itu hal yang tidak pula ingin aku lakukan.
“Teguh! Masuk ke kamar! Besok kamu harus sekolah. Jangan sampai kesiangan.”
Begitu pinta Yu Tari dengan mata basah yang tak ingin pula aku seka. Setelah malam itu, aku tidak pernah melihat Bapak pulang ke rumah lagi. Dia hilang seperti bau kentut yang langsung terbawa siut. Aku memang tidak pernah punya bakat untuk bisa dekat dengan Bapak. Berbeda dengan Yu Tari yang sedari kecil begitu Bapak manjakan. Itu sebabnya, aku tidak sekalipun merasa kehilangan. Makin lengkap pula perasaanku yang merasa asing, tidak mengenal Bapak.
***
Setelah tidak ada uang yang kami dapat dari Bapak, aku memutuskan untuk tidak lanjut sekolah, selesai di bangku kedua SMA saja dan membuka bengkel dengan keahlian yang kudapat dari Tarno, pekerja Bapak dulu. Tentu saja tidak meneruskan milik Bapak, tidak menggunakan alat-alat atau tempat yang dia gunakan dulu. Usaha ini milikku sendiri, tidak ada campur tangan dari Bapak. Sementara Yu Tari masih bertahan duduk di bangku kuliah, tidak berencana keluar, dan Ibu pergi ke Jakarta untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, atas saran dari rekan sekolah dulu. Bagaimanapun keluargaku tetap sempurna, tak peduli anggapan mereka.
Yu Tari dan Ibu adalah perempuan kuat yang gigih. Setiap hari, Yu Tari selalu memasak dan mencuci baju, baik milik dia sendiri ataupun milikku. Kebutuhanku sehari-hari yang biasa disiapkan Ibu, semua tercukupi oleh Yu Tari. Aku ingat semasa kecil, Yu Tari sering sekali menggendongku sampai ke warung jajan, membelikan aku jajan yang aku suka, kemudian kami duduk berdua melihat matahari tenggelam di gubuk dekat sawah, di depan rumah kami. Perasaan hangat yang disalurkan Yu Tari kepadaku belum berubah sejak dulu. Aku suka melihat Yu Tari bekerja. Melihat dia, seakan Ibu pun ada di sini.
Suatu malam, aku dikagetkan oleh bunyi gedoran pintu. Betapa terkejut aku, ketika kulihat Ibu berdiri di hadapanku dengan wajah panik, disusul Yu Tari yang keluar dari kamar dan langsung menghambur ke pelukan Ibu sambil menangis. Ada yang tidak aku mengerti lagi dari tangisan mereka. Tak ada jawaban atas pertanyaan yang kuungkapkan lewat sorot mataku.
“Bu, ada apa?” tanyaku lembut.
Ibu masih memeluk Yu Tari, dan keduanya masih menangis. “Sudah, kamu masuk ke kamar saja. Biar Yu Tari tenang.”
Aku diam kecewa.
“Guh, cepat masuk!” pintanya.
Aku tidak banyak bicara setelah malam itu lewat. Yu Tari tidak pernah berangkat kuliah, dan Ibu tinggal di rumah. Menggantungkan kebutuhan dengan membuka warung di depan rumah. Diam-diam, meski ada bongkahan batu di hatiku akan sikap mereka, aku selalu mengirimkan doa, setiap kali mereka mulai membuka warung.
Hari demi hari, permintaan Yu Tari makin tidak aku mengerti. Mulai dari pepaya setengah matang, juga mi instan pedas dengan perasaan jeruk nipis. Hari demi hari pula, tubuh Yu Tari makin gemuk dan perutnya makin buncit.
“Siapa Yu?”
Yu Tari diam sambil terus membersihkan meja makan.
“Yu, siapa bapaknya?”
Yu Tari mengerlingku. “Bukan siapa-siapa. Tidak usah ikut campur.” Ujarnya sambil berjalan membawa serbet, dan sebelah tangannya mengusap-usap perut.
Bisik-bisik yang tak pernah surut makin menjadi. Setiap kali ibu-ibu itu lewat di depan warung atau bengkel, kaki mereka seakan sengaja dihentakkan agar debu beterbangan ke arah kami. Aku masih tidak peduli.
Tiba hari di mana bayi di dalam perut Yu Tari minta keluar. Begitu dukun bayi sampai di depan rumah, aku pergi ke sawah. Menatap terbenamnya fajar sambil melayangkan kutukkan ke segala arah, yang kuharap sampai ke lelaki pemilik bayi di dalam perut Yu Tari. Ya, lelaki itu muara dari segala sumpah serapahku. Aku menutup mata, saat tangis si bayi terdengar dari dalam rumah. Merasakan air mata meluncur keluar tanpa ingin siapa pun tahu, atau berusaha mengerti.
***
“Aku akan menikahi Pipit.”
Ibu dan Yu Tari seketika berhenti makan dan berpandangan sebelum menatapku kaget. Bayi tujuh bulan di pangkuan Yu Tari masih asyik sendiri dengan sendok plastik kuning yang diberikan Yu Tari.
“Kau serius?”
Aku mengangguk. “Serius, Yu. Aku sudah ke rumah Pipit kemarin. Nembung ke Bapak dan Ibunya.”
“Mereka setuju?” tanya Ibu seolah hanya butuh ketegasan.
Keluarga kami sudah seperti tak dianggap oleh warga desa. Terlebih setelah di Buyung lahir. Semua mata memandang kami hina. Aku mengerti apa yang saat ini mengendap pada perasaan dua perempuan di hadapanku.
“Setuju. Tulat, Ibu diminta ke sana,” mereka masih diam. “Tenang, aku sudah punya tabungan.”
Percakapan kami tidak pernah panjang. Diam Ibu pun tak bisa kuartikan. Apa pun itu, aku tetap akan menikah dengan Pipit. Perempuan yang sudah kujadikan pacar sewaktu aku masih sekolah dulu.
Menikah dengan Pipit, dan membawa dia untuk tinggal bersama kami, aku harap bisa menjadi jembatan penghubung antara aku dengan Ibu dan Yu Tari. Mereka sama-sama perempuan, dan Pipit sudah pasti memiliki kedekatan intim denganku, yang membuat segalanya seakan tak berjarak. Tidak ada basa-basi atau apa pun. Aku dan Pipit bisa menjadi koneksi yang baik.
Dugaanku salah. Setelah enam bulan Pipit tinggal bersama kami, saat Ibu memutuskan kembali berangkat ke Jakarta, Pipit bersama Yu Tari menangis bersama di dalam kamar. Sementara aku tidak dibiarkan masuk atau sekadar ikut merasakan. Kurang ajar!
“Aku perlu tahu, Yu! Kenapa?!” teriakku, lebih kutekankan untuk menyindir nyinyir Pipit. Bahwa dia harusnya tahu, kalau aku perlu tahu.
“Mas, jangan teriak-teriak. Kasihan Yu Tari!”
“Diam kamu!” gertakku sambil melotot. Membungkam permintaannya. “Yu! Kenapa?! Ada apa?! Aku bukan anak kecil lagi. Aku butuh tahu!”
Yu Tari masih menangis dan menggendong Buyung yang ikut terbangun karena teriakanku. Yu Tari beri keras tak mau menjawab. Aku mulai geram. Masuk ke dalam kamar, mengambil tas punggung dan memasukkan bajuku seperlunya, dan keluar rumah tanpa menatap mereka.
“Mas... Mas mau ke mana Mas!” seru Pipit seraya mengejar. “Mas. Jangan tinggalin aku Mas! Mas!” sambungnya makin keras dalam tangis. Aku tidak menoleh, terus berjalan entah ke mana kaki ini akan melabuhkanku.
***
“Guh, Mbakyumu ini harus segera menyelesaikan study yang sempat terhenti lantaran Buyung. Kalau tidak Yu selesaikan, Ibu tidak mau kembali ke rumah. Besok Yu sudah harus laju, titip Buyung. Yu akan bawa Ibu pulang secepatnya. Kalau kamu bukan Bapak, pulanglah! Air mata istrimu menunggu tangan yang siap menghapusnya.”
Begitu isi pesan yang Yu kirimkan kepadaku. Aku menghela napas. Gemuruh dadaku merasakan dongkol yang tak kian terobati. Bertambah dan terus bertambah. Baru kali ini Yu Tari menjelaskan tangisnya. Bukan kebetulan ketika sepasang mataku menemukan Bapak di warung remang dekat terminal. Aku sengaja ke mari, mencari alasan kuat untuk aku pergi dari Pipit, dari Yu Tari. Yang aku temukan justru alasan paling kuat aku harus kembali. Tanpa berpikir panjang, kakiku kembali melangkah pulang.
Aku mengetuk pintu rumah, mendengar derap langkah dari dalam dan menerima pelukan Pipit begitu pintu itu terbuka.
“Maafkan Pipit, Mas.” Ujarnya sambil menangis.
Ini adalah tangis pertama yang aku mengerti tanpa kupinta penjelasan. Perempuan, kita tidak perlu selalu mengerti mereka. Cukup selalu ada dan menjadi penguat, maka kita bisa bertahan selamanya.
A ~ 26.09.16
No comments:
Post a Comment