Friday, July 14, 2017

Biru



2 Februari 2016

Langit masih gemeluduk. Jogja tak menyisakan kering sedikit saja. Rata basah dan dingin. Jalanan depan penginapan sepi, tak ada lalu lalang. Paling satu kali tukang siomay hokie atau orang berpayung sambil menenteng bungkusan. Lapar memang, tapi tak masalah. Ada persediaan roti, keju, dan saus pasta di dalam kulkas. Selama Biru di sini, mau hujan selama apapun, aku tenang.

"Kenapa aku tidak bertemu kamu saja langsung. Kenapa harus lewat Bening."


"Tuhan itu maha asyik." Celetuk Biru yang sama sekali tidak keberatan aku menumpukkan sebagian badanku pada dadanya yang bidang. Tangannya sedari tadi masih memainkan rambutku. "Barangkali kalau kamu tidak ketemu Bening, kamu juga nggak ketemu aku."

"Bukan, harusnya aku lebih bersabar."

"Serahkan pada yang membuat cerita, Diandra. Kita tinggal menjalani skenarioNya. Tak perlu ada penyesalan. Toh Bening udah hilang."

Diandra mendongak, matanya berusaha menggapai pandangan Biru. "Kalau dia datang lagi?"

"Tidak mungkin. Percaya sama aku."

Selama ini Biru tahu aku yang paling berusaha menjaga hubungan dengan Bening. Sementara lelaki itu justru mati-matian ingin sekali melepaskan. Padahal dia tahu, sedikit saja aku tidak cinta. Aku hanya punya keyakinan, cinta bisa diciptakan. Menerima Bening adalah keputusan yang ingin aku pertanggung jawabkan. Nyatanya? Sial! Setelah bubar dia malah terus-terusan berusaha kembali.

Aku menggamit tangan Biru. Masih ada sedikit sisa rasa tak percaya, aku bisa dengannya. Duduk berdua, makan bersama, nonton acara kesukaan kita, sambil menyusuri kota jogja berhari-hari seperti ini. Kadang, masih ada perasaan asing. Tapi lagi-lagi aku dijatuhkan kepada perasaan nyaman, bisa memeluk dia seerat ini.

"Kamu ini anak kesayangan orang rumah. Harusnya pergi jangan lama-lama."

"Kamu mau aku di sini bentaran aja?!" Aku sontak bangkit dan membesengut. Mendapatkan tiket perjalanan yang paling aku idam-idamkan ini bukan perkara mudah. Aku harus meyakinkan seisi rumah kalau kehidupanku di sini pasti terjamin dan berjanji bakal telpon 3 kali sehari, di jam sebelum makan. Juga harus lembur 3 hari berturut-turut ikut mengurusi kerjaan Ayah di rumah, biar dapet uang saku lebih.

"Ya bukan gitu. Mau dong. Siapa yang nggak mau bisa bareng sama kamu lagi."

"Terus?"

"Enggak, dengan begini aku merasa kamu jauh lebih berkorban aja buat aku. Sementara aku?"

"Cinta itu nggak perlu ada kata berkorban. Cinta itu butuhnya tulus. Dan ini cara paling akurat yang bisa aku lakuin buat nunjukin kalau aku tulus sama kamu."

Biru tersenyum, tidak bangkit dari tempat tidur. "Iya aku percaya."

"Terus mau kamu apa?"

"Nikah aja yuk? Biar kamu nggak perlu cari alasan panjang lebar buat keluar rumah."

Aw, shit! "Mau!"

--------------------------------------------------
8 Februari 2014

"Ayok!" 

Bening menggandeng tanganku, menarik paksa agar aku mau keluar kamar dan makan berdua. 

Sudah pukul sembilan malam, dan buku yang harus aku selesaikan masih separuh tersentuh. Kan sudah kubilang, aku kenyang. 

"Kamu ini pemaksa banget ya."

"Kamu belum makan, tapi ngomong kenyang itu berarti perutmu keisi angin. Nurut sama aku. Kalau kamu pingin nulis kamu mesti sehat. Dan sehat itu butuh makan."

Aku mendecak lidah dan menutup bukuku dengan sedikit hentakan. "Ya udah ayok! Mau makan di mana?"

"Tempat kesukaanku."

Warung padang di ujung jalan menuju kampus sudah mulai sepi. Bening memintaku duduk sembari dia memesan dua porsi nasi dengan lauk rendang yang kata dia enak luar biasa. Ah, berlebihan. Aku sudah hampir lima belas kali makan di sini dan, enak memang tapi biasa aja. Atau mungkin penilaianku subjektif lantaran kesal. Aku nggak pernah suka dipaksa!

Bahkan untuk mencintai dia saja, aku terpaksa!

"Bening?"

"Eh, kamu. Belum makan juga?"

"Iya belum, baru selesai rapat."

"Oh, yaudah aku pesenin sekalian deh, duduk aja tu di meja nomer 4. Yang ada cewek pakek baju merah itu."

"Nggak ganggu nih?"

"Ah, enggak. Santai aja."

Aku tidak sedikitpun cemas ketika lelaki bersih berparas, emm... imut itu menghampiri meja kami dan duduk di kursi menghadap persis ke arahku.

"Hai, sorry nih ganggu. Kenalin aku temen Bening, Biru."

"Oh iya, nggak masalah. Diandra."

Lelaki itu tersenyum berusaha lebih kenal.

***

Sebelumnya di DBB 😊

No comments:

Post a Comment