Friday, June 9, 2017

Di Balik Dahan Kering (Untuk Kak Stella) ^^


Di Balik Gundukan Dahan Kering
Cerpen Rahmy Madina


Ada yang berbeda terjadi dalam hidup dia, setelah lembaran putih itu Ibu terima dari Dokter Heri. Segala macam sistem hidup, rotasi dan revolusi dunia dalam diri gadis kecil ini berubah. Semua mata seolah memandang dia adalah satu-satunya orang paling aneh yang berdiri di bumi. Seolah! Tapi kata seolah itu menjalar begitu cepat dan menguasai semua imajinasi yang rapi terbangun di alam bawah sadar gadis itu. Maka tiap kali berjalan, dia akan sigap menangkap semua mata yang lagi-lagi, seolah hanya memandang kepada dia. Tidak ada satu pun orang yang bisa mengerti. Dunia ini penuh dengan mata yang menghakimi dia, atau segala macam rasa nyeri yang selalu dia tanggung. 

Siang itu, ketika Paman, Bibi, dan ketiga sepupu Stella datang membawakan sekeranjang apel merah kesukaan dia, juga mangga yang ranum betul dari kota, gadis itu memilih untuk tidak terlalu menonjol di antara mereka. Kalau bukan duduk di samping Ibu, dia lebih memilih tiduran di sofa empuk dekat perapian, berbantal Peru flufy yang malas-malasan. Anjing ini teman paling setia yang Stella punya. Ya,rasanya begitu.
Kalau kata Orhan Pamuk bunuh diri harusnya terjadi pada mereka yang memiliki ruang privasi lebih banyak untuk diri mereka, maka Stella memiliki itu. Dia bisa kapan saja melakukan tindakan gila yang membuat dia bisa menyudari segala macam derita, tapi. Tapi jelas itu akan memunculkan penderitaan baru yang tiada berkesudahan terutama di hati Ibu dan Ayah. Sekejam apapun dunia dalam pandangan Stella, dia tak ingin lebih kejam dari itu. Cukup tersenyum, bersikap ramah, menyenangkan, dan pura-pura tidak melihat. Semua akan baik-baik saja kecuali tulang-tulang punggung dia yang akan selamanya linu-linu, dan pernapasan yang tiba-tiba sengal.
“Kami tetap pada rencana awal untuk menghabiskan awal musim gugur di sini bersama kalian. Mungkin hanya lima sampai tujuh hari. Kalian tahu kan, kota bising. Kami mengharapkan suasana yang berbeda. Di sini.”
Tanganku sontak menggenggam pergelangan Ibu yang langsung membuat wanita paruh baya itu mengerti akan kegelisahan putri dia satu-satunya. Mata teduh Ibu menoleh menatap Stella seakan berkata, kamu akan baik-baik saja. Stella balik tersenyum, karena memang hanya mata Ibu satu-satunya mata yang paling bisa membuat Stella nyaman, dan aman.
“Silakan. Ada dua kamar kosong. Di belakang, dan di samping kamar Stella.”
“Bagus,” celetuk Bibi sambil tersenyum. Menunjukkan deret gigi rapi yang putih bersih. “Joe dan Nick bisa berbagi kamar. Lili bakal senang bukan main kalau bisa menghabiskan sepanjang malam bersama Stella.”
Stella merasakan cambukan kecil pada punggung dia ketika mata Bibi seolah minta dia mengiakan. Gadis itu gugup sejenak saat balik menatap, namun akhirnya tersenyum. “Oh, ya. Aku juga senang punya teman kamar.”
Senyum Lili mengembang dan langsung menghambur ke arah Stella, memeluk gadis itu erat, membuat Flufi terkesiap bangun dari tidur dan turun dari sofa, untuk melanjutkan tidur di dekat perapian. 
“Aw!” sergah Stella lirih membuat Ibu sedikit cemas, tapi tak ingin bersikap berlebihan. Gadis kecilnya tahu apa yang harus dia lakukan.
***
Sementara Ayah dan Paman membersihkan dahan-dahan kering, dan menumpuk si gugur itu menjadi beberapa gundukan besar, Bibi, Ibu, dan ketiga sepupu Stella sudah menggelar kain di rerumputan. Menyiapkan berbagai macam makanan kering juga teh hangat, untuk kami semua. Begitu mereka asyik sendiri dan ketiga bocah itu berkejaran, diam-diam Stella mundur menghampiri gundukan daun di samping kiri rumah, duduk bersembunyi di balik gundukan itu sambil membaca buku.
Tidak ada yang lebih nyaman dari sendirian. Atau bersama Flufi minimal. Tapi anjing cokelat itu masih asyik menyalak-nyalak dan mengejar bola-bola kecil yang dilemparkan ketika sepupu Stella. Pikir Stella, mereka bertiga jelas lebih asyik untuk Flufi ketimbang dia. Maka tidak ada yang lebih bersahabat selain buku dan Ibu. Juga gundukan dahan yang seolah bisa melindungi dia dari dunia.
“Bersembunyi lagi?”
Stella mendongak dan langsung mendapati kedua telaga hijau milik Ibu. Gadis itu tersenyum, senang kalau Ibu bisa membaca apa yang dia butuhkan.
“Aku tidak bersembunyi, aku menemukan tempat nyaman.”
“Di sana tidak nyaman?”
“Nyaman, tapi tidak begitu nyaman.”
Ibu mengerutkan Adhi masih sambil tersenyum. Duduk di samping putri kecilnya dam mengusap rambut gadis itu pelan. “Daun gugur selalu menenangkan. Iya benar. Ibu juga suka suara kriuk dari mereka.”
Stella mengambil satu daun kemudian meremas daun itu sambil menimbulkan suara Krebs yang nyaring. “Seperti ini?” celetuk gadis itu sambil menatap Ibu ceria.
Ibu terkekeh. “Iya.”
“Dor!” suara ketika bocah itu mengagetkan mereka. 
     Mereka bertiga, Joe, Nick, dan Lili langsung menyerbu gundukan daun tempat Ibu dan Stella “bersembunyi”. Membuat daun-daun itu amblas dan berhamburan. Ayah dan Paman hanya geleng-geleng sambil terkekeh-kekeh. Satu gundukan, harus mereka bersihkan, lagi. Stella dan Ibu ikut tertawa, membuat Bibi nimbrung duduk menghampiri mereka.
     “Sedang apa kalian di sini?” ucap perempuan yang memiliki mata nyaris seperti mata Ibu.
    “Begini cara kami menikmati musim gugur.” Jawab Ibu sekenanya.
     Sementara ketiga sepupu Stella ganti Hasyim bermain daun, apalagi setelah Fluffi ikut nimbrung di antara mereka. Tidak masalah, selama Ibu kedua tangan Ibu merengkuh dia, semua tempat aman dan nyaman bagi Stella, sesendiri apapun yang gadis itu inginkan.
***
     Keesokan hari, seperti permintaan Ibu, Stella ikut bermain lempar bola bersama ketiga sepupu dia dan Fluffi. Bagaimanapun Ibu benar, membaur adalah satu kegiatan yang tidak boleh gadis itu hindari.
     Udara di luar makin dingin, keempat bocah itu mengenakan jaket tebal dan sepatu yang hangat. Mula-mula gadis itu memperhatikan mereka bermain. Saling lempar, berkejaran, dan saling menularkan tawa.  Acap kali, gadis itu pun ikut terkekeh, sampai akhirnya Lili menarik dia untuk ikut bermain dan Lili sendiri sebagai tim dia. Ibu benar, membaur itu menyenangkan. Stella menikmati betul permainan mereka. Ikut berlari dan melempar bola. Tawa renyah mereka benar-benar menular. Entah perasaan nyaman itu seperti apa, tapi Stella merasa mulai betah ada di antara mereka.
     “Tangkap!” seru Joe kepada Nick yang tangkas menangkap bola itu dan melemparkan lagi sampai mengenai Lili.
     Gadis berambut pirang itu sontak terkekeh dan mengambil bola yang jatuh di kaki dia. Matanya sigap menemukan Stella dan meminta gadis itu mengambil ancang-ancang untu menangkap lemparan bola dari Lili. 
     “Stella, siap!” seru dia.
    Gadis itu mengangguk menerima aba-aba. Dia tersenyum. Kedua tangan yang sebagian tertutup lengan jaket sudah bersiap menerima. Bola itu akan dia lemparkan ke arah Joe yang berdiri dekat dengan dia.
     “Tangkap!” seru Lili sambil melemparkan.

Stella mengejar bola itu bersemangat. Kemudian menjulurkan tangan. Tapi begitu bola makin dekat, tulang-tulang gadis itu nyeri bukan main, dan detak jantung dia tiba-tiba kencang. Napasnya sesak. Bola itu terjatuh ke rumput, langsung disambar Joe dan dipukulkan ke punggung Stella yang langsung terjatuh kesakitan.  Gadis itu merintih hampir menangis.
    “Kamu ini! Kenapa tidak ditangkap! Kita kalah kan! Ringkih sekali kamu! Aneh!” celetuk Lili membuat Stella terdiam memperhatikan gadis itu berlari menghampiri kedua kakak dia dan meminta mereka meneruskan permainan tanpa Stella.
Bingung harus bersikap bagaimana, Stella langsung tertatih menahan nyeri dan berlari menghampiri gundukan daun kering di dekat pohon besar di belakang rumah, bersembunyi di sana. Iya, dia aneh dan tidak akan pernah sama dengan yang lain. Semua kegilaan ini akan selalu mendera, selama tulang ini yang tetap melekat pada daging dia. Gadis itu terus menangis sesegukkan, sementara Fluffi ikut duduk memperhatikan gas itu, seakan iba.
“Di sini kamu rupanya. Ibu mencari ke semua gundukan.”
“Aku ingin sendiri, Bu!” ucap gadis itu sambil berpaling. Tidak ingin Ibu tahu kalau dia menangis.
“Ibu juga.” Jawab Ibu seraya membalutkan selimut tebal ke tubuh Stella. “Udara di luar dingin. Seharusnya Ibu tidak membiarkan kamu bermain di luar. Dingin bisa membuat nyeri memang.”
“Bukan salah Ibu, aku yang aneh.”
“Siapa bilang begitu?”
Stella menatap Ibu, tak lagi malu Ibu tahu dia sedang menangis. “Lili! Semua orang! Semua orang bilang begitu Bu!”
“Tapi Ibu tidak.” Jawab perempuan itu sambil membopong Stella dan mendudukkan di pangkuan dia. Mengusap-usap punggung Stella dan memijat kaki gadis itu penuh kasih. “Mana yang sakit?”
“Hatiku.” Jawab Stella yang sudah merasa sedikit tenang. “Kenapa harus ada skoliosis. Kenapa harus aku?!”
“Karena Tuhan itu maha kreatif sampai-sampai menciptakan keistimewaan itu.”
“Kenapa harus aku, aku bukan istimewa Bu! Aku aneh!” sergah Stella lagi sambil menangis di pelukan Ibu dan menahan air di pelupuk mata tua itu.
“Kamu istimewa, Stella. Karena Tuhan tidak menemukan satu pun anak yang luar biasa seperti kamu, yang bisa menyandang keistimewaan ini. Kamu anak yang terpilih.”
Stella tidak tahu bagaimana rasa dia sekarang. Sakit, sedih, atau senang menerima ungkapan Ibu. Tidak ada pilihan yang paling tepat untuk dia ambil selain memeluk Ibu dan menangis. Menumpahkan segala sesak dan menerima kenyamanan yang Ibu tawarkan.

Amy 9 Juni 2017
 

No comments:

Post a Comment