Mata
dingin itu menyejuk, tidak menusuk. Lizzi berusaha tetap mengatur napas. Akan
jadi masalah paling besar selama hidup kalau Mom tahu, dia menyembunyikan
boneka di bawah bantal putih bersih yang sekarang dia gunakan untuk bersandar.
Setelah merapikan tirai kamar Lizzi dan melipat selimut putih yang kemudian dia gantungkan pada jemuran kayu di sisi ruangan, Mom duduk di ranjang Lizzi. Entah
untuk keberapa kali, karena ini terlampau jarang, senyuman Mom menular.
Sambil
mengusap rambut Lizzi, Mom berkata, “Kau memiliki mata Dad. Sejuk. Seperti
padang rumput ketika Mom mebaca sebuah dongeng. Membuat setiap yang memandang
ingin berlama-lama singgah di sana.”
“Benarkah?”
Lizzi bertanya penuh keharuan.
Mom
mengangguk. “Mom sayang sekali padamu, Elisa.” Wanita itu mengecup kening Lizzi lembut, kemudian kembali berkata,
“Time to sleep. You need to take a rest.
Still remember. No lazzy, no rush,…”
“Not to be late, no crazy think, and no
lying. I Know, Mom. That’s on my mind.” Lizzi menirukan ucapan Mom dengan
fasih.