Lelaki itu tidak memetik gitar, tidak berpenampilan nyentrik, tidak pula tengah membaca puisi.
Tapi memesona.
Menatapku seolah aku adalah kalimat terakhir dari sebuah buku yang dia suka.
Lalu usai menemukan kalimat itu, dia menangis sambil sedikit berjingkat dan berkata, "sudah kuduga."
Kita duduk bersua lewat secangkir teh yang kepul dan harum.
Matamu membidik serupa cakar mencengkeram mangsa.
Padahal hanya aku satu-satunya yang menatapmu.
Cerpen Rahmy Madina (Suara Merdeka, 21 Januari 2018)
Derap kaki dan lolongan serigala yang kudengar, meski bukan saat purnama, membuatku agak memercayai dongeng yang beredar di kampung. Selama ini aku tidak pernah merisaukan kebenaran dongeng. Selain sebagai pengantar tidur anak-anak, dongeng ada hanya untuk mengenang cerita tentang sebuah peristiwa di suatu tempat.