Saturday, May 20, 2017

Kelas Menulis #7 (Menulis itu Serangkaian Kegiatan Membaca)



Haii haii haii
Selamat malam Mingguuuu ^0^

Kelas lagi yuuuukkk
Kali ini aku mau bahas soal menulis dan membaca? 
Siapa sih sebenarnya mereka? Kok aku bahas terus nggak ada habisnya. Berasa super model aja. Loh, lebih daripada itu! 

Yuk, kenalin sama dua hal paling asyik di dunia ini. haha :D

Menulis itu bukan hanya soal menggores tinta di atas kertas. Menulis itu bukan soal menuangkan kalimat demi kalimat, memolesnya jadi cantik kemudian melabeli tulisan itu ke dalam salah satu jenis karya sastra. Lebih daripada itu, menulis harus dilandasi dengan dasar kesadaran mengapa kita menulis.

Salah seorang dosen yang merangkap jadi teman ngobrol dan teman diskusi pernah bilang ini, menulis itu mengemban tugas kenabian. Karena kita sebagai penulis menyampaikan kalam yang kita dapat dari semesta ini. Maka memutuskan untuk menjadi penulis adalah keputusan yang besar tanggung jawabnya. Segala macam kebutuhan pembaca, imajinasi mereka, tindak laku mereka bisa mengikuti dari apa yang kita tulis?

SENA (Cerpen)





Ruangan ini cukup terang. Tapi tidak lebih terang dari loteng yang terkena sinar matahari, yang secara terang-terangan masuk menembus kaca kusam berdampingan di sisi kiri. Sena pernah mengajakku ke sana. Aku tahu detail isi rumah ini sefasih Sena mengetahuinya. Lantai kayu yang berdenyit, suara mesin jam ukuran besar di ruang tengah yang menggema, juga mainan yang berserakan di mana-mana. Semua itu terlalu mudah untuk dihafal sejak sepuluh tahun silam. Tidak ada yang berubah di sini. Termasuk kebiasaan Sena membuka pintu dengan sedikit hentakan, disusul dengan teriakan melengking yang berbunyi, “aku pulaaaaaaaang!!” saat pulang sekolah. Aku jelas lebih menghafalnya dibandingkan siapapun. 

That Doll (Cerbung Part 3)


Mata dingin itu menyejuk, tidak menusuk. Lizzi berusaha tetap mengatur napas. Akan jadi masalah paling besar selama hidup kalau Mom tahu, dia menyembunyikan boneka di bawah bantal putih bersih yang sekarang dia gunakan untuk bersandar. Setelah merapikan tirai kamar Lizzi dan melipat selimut putih yang kemudian dia gantungkan pada jemuran kayu di sisi ruangan, Mom duduk di ranjang Lizzi. Entah untuk keberapa kali, karena ini terlampau jarang, senyuman Mom menular.
Sambil mengusap rambut Lizzi, Mom berkata, “Kau memiliki mata Dad. Sejuk. Seperti padang rumput ketika Mom mebaca sebuah dongeng. Membuat setiap yang memandang ingin berlama-lama singgah di sana.”
“Benarkah?” Lizzi bertanya penuh keharuan.
Mom mengangguk. “Mom sayang sekali padamu, Elisa.” Wanita itu mengecup kening Lizzi lembut, kemudian kembali berkata, “Time to sleep. You need to take a rest. Still remember. No lazzy, no rush,…”
Not to be late, no crazy think, and no lying. I Know, Mom. That’s on my mind.” Lizzi menirukan ucapan Mom dengan fasih.