Entah berapa lama kita tak lagi saling bersua.
Kamu dengan egomu. Aku dengan ketakutanku.
Sesekali, tatap mata dan halus tutur tegur sapamu, mampir ke ingatanku.
Semua air, pasti muaranya ke laut.
Langit, laut, bulan. Memandang mereka selalu mencipta tenang yang tak mampu aku jelaskan. Tiba-tiba saja, merasuk. Mereka seperti memiliki dapur Tuhan yang entah di mana mereka letakkan.
Hujan bukan tak tahu waktu.
Dia memiliki waktu paling tepat untuk jatuh meski hitungan kita tiada pernah akurat.
Hanya saja, kita terlalu tenggelam dalam makian padahal rintik belum bertansformasi jadi genangan panjang.