Cerpen Rahmy Madina (Suara Merdeka, 30 April 2017)
Kasur tua itu tergelar di pekarangan saat Bagus pulang sekolah. Bocah itu tersenyum. Dia berlari menghampiri kasur itu, memeriksa bagian yang bolong terkoyak tikus. Rumah mereka berdinding bambu. Tikus lapar mudah menembus dinding hanya dengan beberapa gigitan. Sudah berkali-kali Bapak menambal dinding, tapi tikus tak hilang akal menciptakan lubang baru. Heran, tikus zaman sekarang tak cukup melahap makanan, tapi juga doyan kayu lemari, gorden, sabun, serbet dapur, juga kasur tua Bapak. Mengeluarkan kasur seakan jadi tradisi mereka. Tradisi Bapak lebih tepat. Sudah sebulan lebih, Bapak tak mengeluarkan kasur ke pekarangan. Rumah mereka hanya berlampu neon kuning redup. Mana bisa bapak menambal kasur dengan cahaya seperti itu?
Makin lama kian kabur saja penglihatan Bapak. Bapak pun menggotong kasur ke luar rumah, menggelar di pekarangan. Bagus menghambur masuk ke dalam rumah. Mendengar suara guyuran air, Bagus tahu Bapak sedang mandi. Tanpa melepas seragam biru putih, Bagus mengetuk pintu kamar mandi. “Pak, habis ini Bapak mau nambal kasur?” “Iya,” jawab Bapak dengan suara agak menggema. “Bolong lagi gara-gara si Pitak.” “Oke,” sahut Bagus senang, lalu berlari masuk ke kamar. Melepas seragam, berganti baju sehari-hari, lantas menunggu Bapak selesai mandi.
Kasur tua Bapak tak lebih dari kasur kapuk yang berbau khas tubuh Bapak. Tanpa jemu menunggu, bocah itu rebah di atas kasur, menatap langit dengan mata menyipit. Sesekali dia memejamkan mata sambil tersenyum, menikmati betul panas yang tak begitu menyengat.
Begitu mencium paduan wangi sabun dan aroma kopi hitam yang dibawa Bapak, dia sontak bangkit. Bapak membawa segelas kopi dan kotak peralatan tambal kasur. Ada gunting, jarum kasur, benang, kain perca. Kotak itu sudah jadi sahabat Bapak sebelum Ibu meninggal dua tahun lalu karena malaria. Bapak tersenyum, mengusap rambut si tunggal seraya bertanya, “Kamu masih di sini? Panas.” Bagus balas tersenyum. “Menunggu Bapak. Ingin lihat Bapak menambal kasur.” “Jangan jadi tukang tambal kasur, Gus. Sia-sia nanti ilmu yang kaudapat selama hampir tujuh tahun.” Bocah itu menggeleng. “Bagus tetap mau jadi pilot, Pak. Tapi semua orang, termasuk Bagus, harus bisa menambal kasur. Jadi tak butuh teknisi.” Bapak terkekeh. Dia meletakkan gelas kopi di dekat kasur. “Jangan punya kasur macam Bapak. Tidur di kasur empuk jauh lebih nyaman.” Sekali lagi dia menggeleng. “Emoh. Nanti tak bisa nggelar kasur di pekarangan lagi kalau kasurnya bagus.” Lagi-lagi Bapak terkekeh. “Ndung, Ndung, nambal kasur kok kauimpiimpikan!” Betapa tidak?
Menambal kasur seakan jadi titik pertemuan paling asyik antara Bagus dan Bapak. Setiap hari Bapak bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Dia harus berangkat selepas subuh dan pulang saat petang. Tak ada waktu tersisa buat Bagus. Tanpa Bapak tahu Bagus selalu meringkuk di dekat pintu menunggu dia pulang. Atau rindu mencium tangan Bapak sebelum berangkat sekolah. Bagus bisa bercengkerama dengan Bapak hanya saat makan siang dan sore menjelang magrib. Kalau tidak lelah, Bapak berangkat lagi karena beberapa kios beroleh pasokan sayuran segar selewat pukul 21.00. Bagus tak sendirian memang.
Dia biasa main ke rumah Bude di kampung sebelah. Sekadar numpang nonton TV, makan atau tidur siang, juga bermain bersama teman sekolah di sana. Dia bisa bertemu Bapak sejak siang hingga sore hanya ketika kasur tua itu terkoyak moncong si Pitak. “Bau kasur Bapak enak.” Sambil membenahi kapuk yang keluar dari kain kasur yang robek, Bapak nyungir menatap Bagus. “Bau apek gitu kok bilang enak.” “Kayak bau badan Bapak.” “Waduh, berarti bau badan Bapak apek ya, Ndung?” Bagus terkekeh. “Enggak, Pak. Khas maksudku.” Bapak mengusap kepala Bagus sambil terkekeh. Dia menyeruput kopi hitam yang masih mengepul, lalu menawari Bagus. “Doyan kopi kamu?” “Nyicip, Pak,” ujar Bagus seraya mengulurkan tangan. Tersenyum ragu, Bapak membantu memegangi gelas yang masih panas. Satu seruputan Bagus nyungir. “Pahit!” ujar dia. “Kamu minum susu saja. Jangan kopi, pahit!” Kalau tidak menggelar kasur, mana bisa percakapan kopi dan susu macam itu berlangsung. Menambal kasur menjadi hari paling Bagus tunggu-tunggu.
***
Sudah lewat pukul 23.00, Bapak belum pulang. Kios Yu Darti pasti baru mendatangkan banyak buah. Bapak pasti lembur. Permukaan air yang Bagus rebus beberapa jam yang lalu pun sudah berlapis debu. Bagus kangen Bapak. Jalan ke pasar gelap dan lembap. Bapak tak pernah mengizinkan Bagus menyusul, meski masih sore. Kata Bapak, pasar tak cocok bagi Bagus. Bapak tak suka melihat Bagus bermain di pasar.
Mending seharian di rumah Bude, belajar dengan Mas Danu, anak pertama Bude, yang sudah tujuh tahun ini jadi guru SD, tempat Bagus sekolah dulu. Kalau sekadar mengerjakan soal, Bagus memilih ditemani Bapak, biarpun Bapak tak sepandai Mas Danu. Namun Bapak tak pernah punya waktu, bahkan hari Minggu. Sungguh, Bagus kangen Bapak. Usai menambal kasur dua minggu lalu, dia belum pernah ngobrol lama dengan Bapak lagi.
Coba Bapak lanjut sekolah, pasti bisa kerja seperti Pak Dedi di kantor kelurahan atau seperti Mas Danu. Bisa pulang kapan pun kalau pekerjaan sudah terselesaikan. Tak perlu menunggu kantor atau sekolah tutup. Lagipula gaji mereka banyak. Belum apa-apa sudah punya motor baru. “Itulah kenapa Bapak tak membiarkan kamu nyusul ke pasar. Berawal dari nyusul, terus bantu-bantu Bapak, kesenengen dapat upah, akhirnya ikut kerja serabutan. Bolos sekolah buat kerja, makin seneng, malah putus sekolah, milih cari uang. Sabar, Gus. Selesaikan saja. Biar bisa hidup enak, lebih dari mereka. Bapak sanggup membiayai kamu sampai jadi sarjana!”
***
Malam makin pekat, angin makin riuh mengantarkan dingin. Bocah itu meringkuk di atas kasur Bapak, menciumi bau apek khas yang selalu dia suka. Kalau kelewat kangen, dia selalu menciumi dan memeluk kasur Bapak agar selalu merasa hangat dalam dekapan lelaki itu. Belum bisa benar-benar memejamkan mata, Bagus bermain-main dengan benang hasil jahitan Bapak sampai timbul niat licik. Tak buangbuang waktu, dia duduk dan menarik kain perca yang usang sampai robek, lalu mendedel-dedel kapuk hingga seperti koyakan. Yes! Besok kasur itu pasti digelar di pekarangan lagi.
***
Bagus tahu, Bapak menyimpan di lemari dekat kasur stoples-stoples bekas jajan dari pasar. Ada lima stoples. Satu stoples bertuliskan “uang sekolah”, satu “uang mingguan”, satu “uang sepatu dan seragam”, satu “uang sepeda”, dan terakhir “uang kasur”. Kalau sudah mencukupi, uang di stoples kasur akan Bapak gunakan membeli kasur baru. Bagus membuka lemari dan melihat isinya. Baru ada selembar lima ribuan rupiah dan beberapa uang receh lima ratus dan seribuan. Jelas masih sangat lama sampai cukup untuk membeli kasur baru.
Bocah itu kegirangan. Dia berlari ke dapur, mengambil pisau dan duduk di kasur Bapak. Bapak pasti pulang larut seperti minggu kemarin. Mata bocah itu menyusuri kasur dan mencari celah untuk mendedel. Begitu ketemu, pisau pun merobek kasur Bapak. Besok pasti kasur itu digelar di pekarangan. Sambil tersenyum, bocah itu merangkak ke kasurnya dan tidur telentang. Dia bahagia membayangkan esok bisa bercengkerama lagi dengan Bapak. Keesokan hari, pulang sekolah Bagus tak mendapati kasur Bapak digelar di pekarangan. Terkejut, bocah itu berlari masuk ke dalam rumah, masuk ke kamar. Benar, Bapak cuma menambal dengan blaster.
Kesal, tetapi Bagus tak bisa berbuat apa-apa, selain duduk lemas di atas kasur Bapak. “Kamu nggak berjemur? Mestinya hari ini aku ingin cerita nilai matematikaku tertinggi di kelas,” celetuk Bagus kepada kasur Bapak sambil menahan sesal yang mewujud air mata. Malam itu, sekali lagi, Bagus mendedel kasur Bapak di bagian berbeda. Semoga kali ini Bapak tak malas mengangkat kasur keluar. Sungguh, Bagus kangen sekali pada Bapak.
***
Bocah itu hampir berlari sepanjang jalan ke rumah. Bibirnya menyungging senyum semringah, membayangkan kasur itu sudah tergelar. Harus! Kali ini tak boleh tidak! Pasalnya robekan kasur Bapak lebar. Mana mungkin tidak ditambal?
Bagus tak peduli Bapak tahu atau tidak Bagus yang merobek kasur itu. Bagus hanya ingin Bapak tahu Bagus rindu, ingin menuntaskan segala sukaduka di atas kasur Bapak. Begitu sampai di tikungan, Bagus berhenti. Dia mengatur napas yang sengal sambil terus menyungging senyum, lalu mengintip dari balik rumah Pak Lurah. Sial! Tak ada kasur di pekarangan! Sungguh, dia kesal bukan main. Bapak tak bisa mengerti! Sambil mengumpat dalam hati dan menahan sesak lantaran kecewa, bocah itu berlari masuk ke rumah. Dia jatuhkan tas di dekat pintu dan berjalan ke dapur, mencari pisau paling tajam.
Sambil menangis tanpa suara, dia masuk ke kamar, menunggangi kasur itu, menatap mata pisau dan kasur bergantian. Kemudian dia kalang-kabut mendedel-dedel kasur Bapak sampai setengah hancur. “Mati kau! Mati kau! Mati kau!” seru Bagus sambil menangis saking rindu. Tangan kecil itu terus menghunjam- hunjamkan pisau ke kasur Bapak. Sadar sudah membuat kasur itu hancur, dia menyembunyikan pisau di kolong, lalu keluar, berlari ke rumah Bude, tanpa ingat menutup pintu. Sungguh, Bagus kesal. Sebulan tak bisa bersama Bapak. Tahu begitu, Bagus tak perlu sekolah. Biar Bapak tetap di rumah, tidak mati-matian banting tulang mencari uang.
Toh bukan itu yang Bagus butuhkan. Esok hari, setelah berani, Bagus pulang. Kasur Bapak tergeletak. Tidak di tempat biasa menambal, tetapi di dekat tempat sampah. Curiga kasur itu bakal dibuang, Bagus memeriksa dari dekat, lalu berlari masuk rumah. Dia terkejut, kasurnya sudah pindah ke kamar Bapak. Dan kasur baru mentereng, sama seperti kasur Bude yang mental-mental, menggantikan kasur Bagus.
Bagus makin kecewa. Dia berlari ke luar rumah sambil menangis. Dia tidur di kasur tua Bapak yang sudah dibuang. Tidak dia hiraukan kapuk yang menyelimuti tubuhnya, berhamburan ke sanakemari, menempel di pipi yang basah. Hari itu, kali pertama selama sekolah di SMP, Bagus membolos. (44)
Banaran, 21 Maret 2017: 13.40
- Rahmy Madina, alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Menulis cerpen, puisi, dan novel.
No comments:
Post a Comment