Sudahkah Kita “Membaca”?

Hallo semua! Kembali lagi bersama Amy dan Binus, yang selalu merasa punya banyak pembaca di blog ini. Ada satu alasan kenapa kami berdua memilih untuk memelihara rasa PD, bahwa kami punya pembaca yang bajibun jumlahnya. Tak lain agar kami tetap bisa menjaga semangat, saat kami mulai mengetik huruf pertama sampai huruf terakhir di setiap entri yang kami bagikan. Syukur-syukur ternyata memang banyak yang mau membacanya, meski karena terpaksa, lantaran blog ini nangkring di profil FB kalian, berkat ulah kami. Haha..

Okay, kita mulai saja obrolan asyik midnight kita. Aku dan kalian, karena Binus tidak bisa terus nangkring di depan laptop. Dini hari ini terasa begitu indah. Karena itu aku ingin berbagi. Sudah begitu lama, bahkan terlampau lama blog ini nganggur seakan tak bertuan. Ternyata menjadi pribadi yang disiplin memang susah-susah gampang. Aku menulis saja, terus menulis tanpa pernah sempat membaginya. Merasa begitu egois ketika melihat judul-judul dari tulisanku nangkring saja di laptop. Dengan entri ini aku berusaha untuk menebusnya.

Kalau kita mendengar kata ‘membaca’, yang terlintas dalam benak kita pasti buku, bacaan, menambah wawasan. Ya, itu juga yang aku fikirkan. Bagiku, membaca tak lain adalah kegiatan memperbanyak wawasan melalui buku atau bacaan. Baca buku buka jendela dunia. Kenyataannya, ada satu hal yang tidak atau belum aku sadari sebelumnya dari kata membaca. Salah seorang dosenku, yang akrab disapa Kang Putu, pernah memberikan wejangan begini: “Cara menjadi penulis yang baik, selain menulis tak lain adalah dengan gemar membaca. Membaca tentu saja bukan sekadar memahami sebuah bacaan. Menambah wawasan lewat buku. Tapi, ada jenis membaca yang harus kita pahami betul. Yaitu membaca keadaan.”

Malam ini, usai pulang dari kelas menulis jurnalistik, aku mendapatkan sesuatu yang rasanya egois sekali kalau harus aku simpan sendiri. Aku menyadari betul, bahwa aku belum pernah benar-benar membaca. Membaca yang aku bicarakan adalah melatih kepekaan kita sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Tulisan yang baik, berasal dari keresahan penulisnya. Aku ingat betul ucapan Kang Putu. Benar memang, tulisan kita bisa bermanfaat ketika tulisan itu lahir dari keresahan kita. Keresahan itu muncul tak lain buah dari hasil membaca kita. Membaca keadaan sekitar, melatih kepedulian kita terhadap sesama.

Pernah terbayang olehku, ketika aku asik sekali membaca buku. Aku sampai tidak mendengar suara teriakan teman kamar sebelah yang kesakitan karena suatu hal. Menghiraukan begitu saja dan menepis rasa ingin tahu. betapa egoisnya ketika itu benar-benar terjadi. Sibuk mencari ilmu, guna menjadi pribadi yang berwawasan luas, tapi hilang kepekaan. Tragis memang.

            Karena itu, membaca situasi, membaca keadaan, harusnya bisa menjadi kekuatan kita untuk saling berbagi. Memahami satu sama lain, hingga rasa peka itu akrab dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah berbagi memang indah? Akan sampai kapan kita cuek? Tidak mau tahu apapun yang harusnya kita ketahui. Menjadi mahasiswa memang tidak hanya sekadar berangkat kuliah, pulang kos, pintar berteori di dalam kelas, mendengarkan baik-baik ucapan dosen. Tidak, tidak sekadar itu. Bukankah dalam kitab agama kita pun menganjurkan kita untuk berbagi?

            Ilmu bukan hanya berasal dari ruangan tempat kita kuliah. Akan terasa indah ketika kita mau membuka mata dan hati kita untuk melihat semua yang belum sempat terlihat. Ada begitu banyak di luar sana yang bisa kita perbuat dari pada kita duduk diam saja di kos-kosan. Berbagilah, asah kepekaan, baca baca baca. Percaya, akan ada yang kita dapatkan dari proses membaca kita, ketika kita tulus melakukannya.

Karena itu, kawan. Aku ingin kita mau membaca. Jangan cuek, tutup telinga, tutup mata, tutup hati. Kelak, kita butuh untuk dibaca. Kita semua tahu, bagaimana rasanya terabaikan, bukan? makanya, kita jangan mengabaikan agar kita tidak diabaikan. Begitu ya, kawan. Semoga entriku kali ini bermanfaat untuk kalian semua. Amin.

Semalat dini hari, selamat membaca! ^^

Amy